FILASAFAT DAN PERKEMBANGANNYA
FILSAFAT ILMU
I. Latar
Belakang Lahirnya Filsafat Ilmu
Kemajuan ilmu (pengetahuan ilmiah) dan teknologi
(implementasi lebih lanjut pengetahuan ilmiah) telah menghasilkan kemajuan yang
luar biasa di dalam peradaban manusia. Ilmu dan teknologi, dapat dikatakan, hampir telah menyentuh seluruh aspek
kehidupan manusia.
Belajar Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang filsafat yang
secara khusus membahas ilmu, berkaitan
dengan: hakikat, struktur, cara kerja, perkembangan, dan implementasi pengetahuan
ilmiah. Jadi, dapat dikatakan, ilmu diperlakukan sebagai subject matter
(objek material); sedangkan filsafat sebagai objek formalnya (point of view).
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang berdiri
sendiri baru muncul pada awal abad XX, awal kelahiran filsafat ilmu tidak bisa
dilepaskan dari gerakan filsafat positivisme logis1.
Sekalipun demikian, unsur-unsur atau pokok kajian filsafat ilmu sebelumnya
telah dapat ditemukan di dalam pemikiran para filsuf, terutama erat berkaitan
dengan pandangan filsuf tentang epistemologi, metodologi, dan metafisika. Kita
dapat menemukan pandangan John Locke,
George Berkeley, dan David Hume, misalnya, tentang terbentuknya konsep, asumsi
dasar tentang realitas.
Karena filsafat ilmu merupakan salah satu cabang
filsafat, agar orang dapat mempelajari dengan baik, maka sebaiknya orang perlu
mengetahui juga sedikit-banyak tentang filsafat. Adapun cabang filsafat yang
dekat dengan filsafat ilmu antara lain: logika, terutama yang berkaitan dengan
prinsip berpikir logis; metafisika, terutama berkaitan dengan asumsi dasar
ilmu; epistemologi, terutama berkaitan dengan teori kebenaran ilmiah,
pembentukan konsep; etika, terutama berkaitan dengan sikap ilmiah. Tidak kalah
pentingnya, untuk dapat mempelajari filsafat ilmu dengan baik, orang sebaiknya
juga mau mempelajari sejarah ilmu, karena dengan mengetahui sejarah ilmu kita
dapat mengetahui bagaimana ilmu itu berkembang, bagaimana perubahan paradigma
terjadi, mau ke mana ilmu akan terus berkembang. Metodologi penting juga untuk
dipelajari, karena ilmu itu dibangun di atas metode tertentu, dan dalam
kenyataannya, masing-masing ilmu memiliki metode yang khas.
Belajar filsafat ilmu akan lebih baik jika memiliki
bekal ilmu empiris. Karena, dalam kenyataannya, kebanyakan ilmu ( di luar
logika dan matematika2) mungkin
malah semuanya adalah ilmu empiris3, yang
berawal dan berakhir pada fakta pengalaman. Ilmu yang menjadi pokok kajian
filsafat ilmu, kebanyakan adalah ilmu empiris. Filsafat ilmu, sampai tingkatan
tertentu, melihat bagaimana ilmuwan bekerja mengembangkan ilmu tertentu.
Ilmuwan yang terjun langsung dan bergelut dengan ilmu tertentu dapat dipastikan
akan lebih baik penggambarannya atas ilmu yang digelutinya dibandingkan dengan
orang yang sama sekali awam atas ilmu tersebut. Oleh karena itu, di sini
penulis menyarankan bahwa untuk belajar
filsafat ilmu akan lebih baik jika berbekal ilmu empiris. Tidak mudah memang untuk dapat menguasai salah satu ilmu,
sekalipun demikian akan cukup berguna jika kita, paling tidak, mau mengenal
ilmu tertentu meskipun hanya sampai tingkatan pengantar, sejarah, dan
mengetahui prinsip dasar ilmu tertentu.
Ilmu dalam Sistem Pengetahuan Manusia
Ilmu hanyalah merupakan salah satu jenis pengetahuan yang
dimiliki manusia di antara berbagai pengetahuan yang lain. Meskipun ilmu bukan
segala-galanya, namun sejauh ini kiranya ilmulah yang merupakan pengetahuan
yang paling dapat diandalkan berkaitan dengan realitas empiris. Penjelasan
ilmiah, tentang fenomena gerhana bulan, misalnya, yang paling dapat memberikan
kepuasan pada rasa ingin tahu manusia dibandingkan dengan penjelasan yang lain.
Selain itu, tradisi akademis yang dikembangkan di sekolah maupun perguruan
tinggi membuat setiap orang yang pernah belajar menjadi terbiasa dengan ilmu, meskipun
sejauh ini sumber pengetahuan yang paling berkembang baru sampai tahapan
otoritas. Tradisi akademis membuat orang menjadi semakin rasional, sadar
ataupun tidak, orang yang pernah menuntut ilmu tertentu hanya akan puas apabila
setiap persoalan yang dihadapi dapat diberikan eksplanasi secara ilmiah: dalam
arti didukung data dan fakta yang dapat dilakukan verifikasi secara empiris.
Apa itu ilmu, secara khusus nanti akan dibahas di dalam
bab tersendiri, namun untuk bab ini kiranya perlu dikemukakan jenis pengetahuan
yang lain agar menjadi jelas bahwa di luar ilmu itu ada realitas lain dan
sekali lagi bahwa ilmu itu bukan segala-galanya. Adapun jenis pengetahuan di
luar ilmu antara lain:
1.
Pengetahuan umum sehari-hari (common sense)
Pengetahuan jenis ini merupakan pengetahuan yang paling awal yang dimiliki
manusia. Ketika seseorang dilahirkan, dia secara tidak terelakkan hidup di
dalam satu lingkungan tradisi tertentu yang di dalamnya mencakup:
adat-istiadat, agama, bahasa, dan sistem pengetahuan umum yang berlaku di
tempat dia dilahirkan. Dengan pengetahuan awal ini memungkinkan dia dapat
berkomunikasi dengan warga masyarakat di sekitarnya, dan di situ pula dia
menemukan dirinya sebagai aku yang berpribadi, terbentuk cara berpikir dan
berperilakunya. Ciri khas pengetahuan common sense adalah tersusun dari
berbagai sistem pengetahuan yang terdapat di dalam masyarakat tersebut, antara
lain: agama, mitos, ideologi, filsafat, dan bahkan juga ilmu (yang
masing-masing akan kita uraikan sebagai jenis pengetahuan yang memang berbeda
meskipun secara ketat sulit untuk dipisahkan). Sekalipun berbagai jenis
pengetahuan bercampur-baur di dalam pengetahuan common sense, yang jelas
bahwa banyak konsep kita terima secara tidak kritis. Berbagai pengertian kita
terima taken for granted, kita anggap benar adanya, dan menjadi dasar
komunikasi dengan orang lain; padahal
sesungguhnya pengertian tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Misalnya: kita percaya bahwa
setiap hari matahari itu terbit dari timur dan tenggelam di barat. Arah mata
angin sangat relatif dan tidak pasti, suatu tempat dapat kita katakan timur
atau barat, bahkan utara atau selatan tergantung pada di mana posisi kita. Kita
juga sering berkata bahwa, malam ini rembulan bersinar terang; padahal kita
tahu bahwa rembulan sama sekali tidak memiliki sinar, melainkan hanya
memantulkan sinar matahari. Unsur kepercayaan sangat dominan di dalam
pengetahuan sehari-hari, kita percaya bahwa orang lain sejauh menggunakan
bahasa yang sama, dia dapat mengerti apa yang kita maksudkan. Lebih dari itu,
kita percaya bahwa orang lain itu “baik”, apa yang mereka katakan sebagai benar
dan dapat dipercaya. Tanpa ada rasa saling percaya di dalam kehidupan
sehari-hari, hidup manusia akan menjadi sangat sulit.
2.
Mitos (mitologi). Mitologi biasa digunakan untuk
memberikan eksplanasi ketika orang belum menemukan penjelasan rasional.
Sehingga pengetahuan mitologis, dapat dikatakan, irasional, orang yang menerima
penjelasan dituntut untuk percaya begitu saja. Misalnya, di dalam masyarakat
Jawa era tahun 70-an, terutama di pedesaan orang tua-tua masih percaya bahwa
ketika terjadi gerhana bulan mereka harus memukul kentongan secara
beramai-ramai agar bulan keluar lagi. Penjelasan mitologisnya adalah bahwa,
gerhana bulan terjadi karena bulan dimakan raksasa (Betara Kala). Kentongan
harus dipukul agar ketika mendengar suara kentongan yang bertalu-talu, sang
raksasa akan pening kepalanya dan memuntahkan rembulan. Begitu percayanya orang
pada waktu itu sehingga ketika terjadi gerhana bulan dapat dipastikan akan
terdengar bunyi kentongan bertalu-talu hingga bulan muncul kembali. Mitologi
dalam arti legenda juga dapat ditemukan di dalam kehidupan masyarakat Jawa,
misalnya mitos tentang Ratu Kidul, penguasa laut selatan. Mitos bahwa raja-raja
di Jawa itu keturunan para nabi dan para dewa dan berbagai mitos lain yang
bersifat lokal yang hanya populer di daerah tertentu. Sifat khas pengetahuan
mitologis adalah tidak didukung data empiris, sehingga sulit dibuktikan secara
objektif. Pengetahuan semacam ini hanya mengandalkan pada kepercayaan bagi
orang yang menganggapnya sebagai benar.
3.
Agama. Sejak awal peradaban manusia, agama
mewarnai hidup manusia. Agama sebagai salah satu sistem pengetahuan, lebih
bersifat normatif, yaitu memberikan arah bagaimana seharusnya manusia menjalani
hidup dengan baik. Terlalu banyak agama di dunia ini, namun agama-agama besar
yang ada di dunia sekarang ini dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
agama semitik yang terdiri atas: agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Agama besar
di luar itu adalah: Hindu, Buddha, Konfusinisme. Di luar itu masih banyak lagi
kepercayaan yang sinkretis, misalnya suku Druz di Lebanon yang
mensinkretisasikan Islam dan Kristen, suku Seikh di India yang
mensinkretisasikan Islam dan Hindu; dan agama yang masih primitif: animisme,
dinamisme, politeisme, dan sejenisnya yang kesemuanya juga merupakan sistem
pengetahuan. Agama sebagai sistem pengetahuan diyakini kebenarannya oleh para
pemeluknya. Iman, kepercayaan sebagai dasar fundamental bagi seseorang untuk
menganut agama tertentu. Para pemikir telah berusaha memberikan eksplanasi
rasional berkaitan dengan masalah
keberagamaan: Tuhan, keimanan, dan misteri lainnya. Yang sangat menarik adalah
bahwa, argumen yang positif maupun yang negatif atas religiusitas manusia
sama-sama kuatnya dan juga sama-sama lemahnya secara rasional. Akan tetapi,
sampai sekarang masih jauh lebih banyak orang yang taat beragama daripada yang
telah meninggalkan agama. Pemeluk agama yang taat dengan keimanannya tidak tergoyahkan
oleh argumen apa pun yang mencoba menafikan agama.
4.
Ideologi. Ideologi merupakan sistem ide yang
teratur yang mengarahkan perilaku manusia. Secara individual maupun secara
bersama-sama orang dapat dikatakan memiliki ideologi tertentu yang mengarahkan
perilakunya. Perilaku manusia bukan tanpa dasar, tujuan dan makna. Ada prinsip
tertentu yang diyakini kebenarannya dan akan dipertahankan apabila ada
penyerangan dari pihak lain terhadap prinsip tersebut. Secara bersama-sama
manusia juga berperilaku diarahkan oleh ideologi tertentu.
5.
Seni.
Sejak munculnya peradaban, manusia juga telah mengembangkan kesenian.
Manusia tidak puas hanya dapat sekedar survive dan meneruskan
generasinya, jika hewan dan makhluk hidup yang lebih rendah waktunya habis untuk
mencari makan, bermain-main, dan mencari pasangan hidup. Tidak demikian halnya
dengan manusia, meskipun manusia juga harus berusaha untuk bertahan hidup dan berbuat sebagaimana yang
dilakukan oleh hewan,
ESENSI ILMU
Genealogi
Ilmu
“Ilmu berasal
dari masa lampau yang jauh, jauh sebelum sejarah manusia dicatat. Induknya
adalah ilmu gaib (magic) kesukuan. Induk yang sama juga melahirkan
agama, dan bahkan mungkin sebelumnya juga telah melahirkan seni. Jadi, ilmu,
agama, dan seni itu merupakan saudara sekandung. Metodenya berbeda, namun
tujuannya adalah sama: untuk memahami dan menafsirkan alam semesta dan
kerjanya, dari sini kemudian untuk meningkatkan kesejahteraan material dan
spiritual manusia bilamana mungkin” (Weisz, dalam Lewis: 1). Kutipan tersebut
semakin jelas menunjukkan kepada kita bahwa ilmu telah memiliki sejarah yang
sangat panjang di dalam peradaban manusia1.
Dalam arti tertentu, ilmu juga merupakan sebuah tradisi, yang diwariskan secara
turun-menurun dari generasi ke generasi. Seiring dengan perjalanan waktu,
perkembangan ilmu mengalami pasang-surut, tergantung pada minat dan perhatian
manusia dari zaman ke zaman.
Ketika manusia kagum terhadap
alam dan mencurahkan perhatian untuk mengkaji alam, maka yang berkembang adalah
ilmu alam (zaman filsuf awal Yunani kuno). Tatkala manusia mulai sadar dan
mengenal diri sendiri, ilmu memusatkan perhatian pada diri manusia sendiri
(zaman kaum sofis, Socrates, Plato, dan memuncak pada Aristoteles) membuat
pengertian tentang manusia menjadi sangat maju, terutama yang berkaitan dengan
persoalan moral. Zaman abad pertengahan, ilmu sangat diwarnai dengan nuansa
keagamaan, sehingga pengetahuan tentang Tuhan yang berkembang. Zaman
Renaissance, ketika manusia mengalami krisis kepercayaan terhadap pikiran yang
bersifat teologis dan dogmatik, manusia mulai mengandalkan kemampuannya untuk
berpikir secara otonom dan mengalihkan perhatian pada otoritas dan kemampuan
yang dimilikinya; saat ini yang menonjol adalah pembahasan tentang sejauh mana
manusia mampu memiliki dan mencapai pengetahuan, pemikiran tentang metode untuk
mendapatkan pengetahuan sangat berkembang. Zaman modern, menurut tradiri
pemikiran barat, berlangsung sejak abad
XVI ketika nama para pemikir besar: Francis Bacon, Rene Descartes, Isaac Newton,
Copernicus, Galileo Galiei, dan yang hidup sezaman dengan mereka berusaha
secara serius mencari metode ilmiah dan bereksperimen dalam bidang empiris,
ilmu berkembang dengan sangat pesat. Berangsur-angsur ilmu memisahkan diri dari
filsafat, dipelopori oleh ilmu alam; kemajuan ilmu semakin tampak lagi ketika
pada abad XVIII dan XIX mulai bermunculan ilmus sosial-kemanusiaan, yang
dipelopori misalnya oleh William Wundt, dalam bidang pskologi; Adam Smith dalam
ilmu ekonomi; Auguste Comte, dalam bidang sosiologi; dan Wilhelm Dilthey dalm
ilmu sejarah, ilmu dalam arti yang kita kenal sekarang terus berkembang dan
bahkan berbagai cabang ilmu baru terus bermunculan (Lihat Sejarah Ilmu).
Ilmu
dan Fakta
Ilmu
adalah fakta; sebagaimana rumah yang terbuat dari batu, demikian juga ilmu
dibangun dari fakta; namun seonggok batu bukanlah rumah dan sekumpulan fakta
tidak secara niscaya merupakan ilmu (Henry Poincare)2.
Ilmu (empiris) berawal dan berakhir dari fakta empiris. Ilmuwan berangkat dari
fakta empiris, dengan menggunakan metode induktif berusaha mencari
generalisasi, teori dan hukum yang kemudian secara deduktif digunakan untuk
memberikan eksplanasi atas fakta empiris yang sejenis. Dengan demikian, empiri
menjadi sumber pengetahuan yang paling utama bagi pengetahuan ilmiah, bahkan di
luar realitas empiris ilmu tidak mampu untuk menjangkaunya. Tuntutan akan
pengetahuan objektif yang dapat dibuktikan oleh banyak orang hanya dapat
disediakan oleh fakta empiris. Selain itu, pengetahuan ilmiah yang diungkapkan dengan
menggunakan bahasa, secara tidak terelakkan harus juga mendapat dukungan fakta
empiris. Di dalam ilmu, pernyataan ilmiah harus ada korespondensi dengan fakta
empiris. Sebisa mungkin pengetahuan ilmiah harus menjauhkan diri dari
pernyataan yang bersifat spekulatif sebagaimana pernyataan yang banyak
digunakan di dalam filsafat.
Empiri
atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan ilmiah harus dipahami dalam arti
yang luas. Empiri bukan hanya dalam arti Humean, pengalaman langsung, baik yang
ke luar yang dicerap melalui panca indra, maupun yang ke dalam yang didapat
lewat introspeksi. Menurut Hume, orang buta tidak memiliki konsep tentang
warna, orang tuli tidak memiliki konsep tentang suara. Empiri sebagai sumber
pengetahuan ilmiah mencakup lebih dari sekedar pengalaman langsung, karena
dalam kenyataannya banyak fakta yang tidak dapat dialami secara langsung oleh
manusia namun juga merupakan sumber pengetahuan bagi ilmu tertentu, misalnya:
atom yang bagiannya terdiri atas neutron, proton, quark tidak dapat secara
langsung dilihat oleh mata manusia; demikian juga sinar ultraviolet tidak dapat
dilihat oleh mata manusia namun keberadaannya tidak disangsikan. Sinar
ultraviolet dan terutama atom dapat dikatakan hanyalah merupakan entitas
teoritis namun implementasinya di dalam teknologi sangatlah luar biasa. Ilmuwan
dan teknolog dengan mendasarkan diri pada teori atom dapat menghasilkan
berbagai macam temuan ilmiah dan teknologis yang dapat digunakan untuk
kepentingan umat manusia, baik dalam arti positif maupun negatif. Implementasi
teori atom dapat menghasilkan bom nuklir yang dapat digunakan sebagai senjata
pemusnah massal dan juga secara positif dapat digunakan untuk menghasilkan alat
kedokteran yang dapat memperpanjang harapan hidup manusia.
Ilmu
dan Kebenaran
a.
Hakikat kebenaran
Kebenaran
(truth) merupakan hal yang sangat penting di dalam ilmu, bahkan dapat diketakan
sebagai idola tertinggi di dalam pengetahuan ilmiah, karena ilmu tidak lain
merupakan salah satu sarana yang dimiliki oleh manusia untuk mendekati
kebenaran/kenyataan. Kebenaran ilmiah berbeda dengan kebenaran yang tidak
ilmiah, ilmu sebagai salah satu bentuk pengetahuan merupakan pengetahuan yang
paling canggihdibandinkan dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ilmu
memiliki tata cara yang khas di dalam mencapai kebenaran. Sekali pun
demikian, kata “kebenaran” bukan
merupakan hal yang sederhana dan sering menimbulkan perdebatan.
Kebenaran
dapat bersifat deskriptif, instrumental, substantif, maupun eksistensial
(Hunnex, 1986: 7). Kebenaran deskriptif berlaku untuk pernyataan, proposisi,
dan juga kepercayaan yang bersifat niscaya keberadaannya atau hanya yang
bersifat kemungkinan belaka. Kebenaran deskriptif yang bersifat niscaya,
misalnya: “Jika a mengimplikasikan b, dan yang terjadi adalah a, maka b juga
akan terjadi”. “Segitiga adalah bangun yang bersegi tiga”. Kebenaran jenis ini
bersifat analitis. Ada pun kebenaran deskriptif yang berupa kemungkinan,
misalnya: “Bumi itu bulat”. Kebenaran ini bersifat empiris.
Kebenaran
dalam arti instrumental, yaitu kebenaran yang berlaku bagi kepercayaan yang
menuntun pikiran atau tindakan, misalnya: orang bertindak atas dasar
kepercayaan bahwa setrom listrik itu dapat mematikan. Hal ini akan membantu
orang untuk lebih berhati-hati agar dapat terhindar dari setrom listrik.
Kebenaran
dalam arti substantif atau ontologis, adalah kebenaran yang mengacu kepada
sesuatu yang real, seperti misalnya: “Tuhan itu maha pengasih dan penyayang.”
Sedangkan kebenaran eksistensial adalah kebenaran yang mengacu kepada cara
hidup atau komitmen ultimate manusia, misalnya: Orang hidup lebih dari sekedar
mencari kekayaan.
Kebenaran
deskriptif berfungsi sebagai kata sifat; kebenaran instrumental berfungsi
sebagai kata keterangan; kebenaran substantif atau ontologis berfungsi sebagai
kata benda; dan kebenaran eksistensial berfungsi sebagai kata kerja.
b.
Kriteria Kebenaran
Filsafat
banyak mengenal kriteria kebenaran, baik yang tradisional maupun yang mutakhir;
penganut kriteria yang satu jarang sependapat dengan penganut kriteria yang
lain, masing-masing dengan argumentasinya yakin akan keandalan kriteria yang
dimilikinya.
FILSAFAT POSITIVISME LOGIS
Pengantar
Memasuki
dunia filsafat, ibaratnya, menginjakkan kaki ke rimba raya. Di situ kita
dihadapkan dengan berbagai realitas: ada batang pohon yang berdiri sendiri, ada
sekumpulan pohon yang membentuk sebuah rumpun; ada hewan besar yang berjuang
untuk hidup sendiri, ada pula hewan kecil yang hidup dalam kawanan.
Gerakan
filsafat yang sangat dekat dan sangat berminat untuk mengembangkan filsafat
ilmu adalah filsafat positivisme logis. Bahkan, sampai tingkatan tertentu,
dapat dikatakan bahwa, filsafat ilmu menjadi cabang filsafat secara definitif
juga hasil upaya para filsuf yang tergabung di dalam gerakan tersebut.
Sejarah
Positivisme Logis
Positivisme
logis, yang juga sering disebut empirisisme konsisten, empirisisme ilmiah,
neopositivisme logis merupakan gerakan yang pertama kali muncul di Jerman dan
Austria. Gerakan ini dimotori oleh para filsuf yang pada umumnya memiliki latar
belakang ilmu khusus: matematika, fisika, biologi, kedokteran, ekonomi,
sosiologi, dan sebagainya.
Faktor
yang mendorong lahirnya positivisme logis:
1. Ketidakpuasan terhadap
pemikiran filsafat yang ada selama ini, bagi kaum positivisme logis—pemikiran
yang dihasilkan oleh para filsuf tidak lain hanyalah merupakan spekulasi liar
yang tanpa dukungan evidensi, filsafat melulu sebagai “nonsense”, berisi
berbagai pernyataan yang tidak bermakna.
2. David Hume: pernyataan yang
memadai adalah:
a. Tautologis: proposisi tentang hubungan antara ide-ide, di
dalam matematika dan logika, sifatnya a priori dan niscaya.
b. Ilmiah:
matters of fact (realitas faktual, objektif) didukung oleh data empiris
Filsafat empiris David Hume,
jauh-jauh hari telah mengantisipasi berbagai pandangan yang pada abad XX
dikembangkan oleh positivisme logis. Hume, sebagai seorang empiris yang
konsisten berpendapat bahwa, persoalan pokok teori pengetahuan adalah berkaitan
dengan makna dan kebenaran, yang harus didekati dengan pendekatan empiris.
Pandangan epistemologis Hume bahwa, sumber pengetahuan
yang dapat diandalkan adalah indera (panca indera) dan introspeksi. Indera,
untuk memperoleh pengetahuan yang berasal dari luar diri manusia dan
introspeksi untuk mendapatkan pengetahuan tentang suasana batin manusia
sendiri. Dengan menggunakan kedua sumber pengetahuan itu, manusia dapat
memperoleh:
Impresi: objek langsung kesadaran yang dialami
ketika orang melakukan persepsi ataupun introspeksi.
Ide: objek yang disadari dengan seluruh aktivitas
mental yang lain daripada persepsi dan introspeksi. Ide itu muncul ketika orang
berefleksi, mengingat, dan berimajinasi yang terdiri atas dua macam: ide
sederhana dan ide yang rumit. Ide sederhana merupakan copy impresi yang
tetap di dalam pikiran sesudah berlangsungnya impresi, misalnya: ide tentang
warna merah, kursi, dan sebagainya. Ide yang rumit merupakan hasil imajinasi,
merupakan kombinasi dari berbagai ide sederhana. Manusia dapat membentuk ide
apa pun di dalam pikirannya, baik yang menggambarkan realitas yang ada maupun
yang tidak ada di dunia: pikiran manusia dapat memiliki ide tentang hantu,
misalnya, sebagai sosok yang seram yang berbadan hewan dan berkepala manusia.
Hal ini dapat terjadi karena orang pernah melihat manusia dan hewan dengan
variasi penampilannya. Filsafat empiris David dapat diungkapkan dengan
proposisi yang sangat terkenal: “No ideas without impressions” artinya bahwa
manusia tidak akan memiliki ide apa pun jika sebelumnya tidak didahului oleh impresi.
Secara epistemologis: orang terlahir buta tidak akan memiliki konsep tentang
warna, orang yang terlahir tuli tidak akan memiliki konsep tentang suara.
3. Positivisme
Auguste Comte
Pandangan
filsafat Auguste Comte, sampai tingkatan tertentu, juga berpengaruh terhadap
pandangan filsafat kaum positivis logis. Comte, tidak diragukan, cukup besar
pula sumbangannya terhadap perkembangan ilmu, khususnya ilmu sosial. Ide yang
dikemukakan Comte dalam banyak hal di kemudian hari diteguhkan kembali oleh kaum
positivis logis.
Bagi
Comte, yang positif adalah yang empiris, yang dapat diverifikasi. Tugas
filsafat adalah untuk menemukan prinsip umum yang berlaku bagi semua ilmu.
Metode yang benar dan yang dapat diandalkan adalah metode ilmiah. Ilmu
fisis-matematis sebagai model untuk diberlakukan bagi ilmu tentang perilaku
manusia (ilmu sosial-kemanusiaan). Comte, seperti kaum positivisme logis, juga
menolak metafisika.
4.
Kemajuan pesat ilmu
Abad XX
merupakan abad yang banyak memberikan sumbangan besar bagi kemajuan ilmu.
Tradisi berpikir ilmiah sudah sangat matang, banyak penemuan ilmiah dihasilkan,
ilmu baru terus-menerus bermunculan. Pemahaman manusia atas hidup dan dunianya
harus sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai ilmu. Ilmu menyediakan bahasa yang
digunakan secara ketat dan pasti, yang memberikan pengetahuan yang paling dapat
diandalkan dibanding dengan yang dapat diberikan oleh jenis pengetahuan yang
lain. Pandangan dunia yang benar adalah yang bersifat ilmiah.
6.
Tractatus Logico Philosophicus, karya
Wittgenstein
Buku ini
cukup besar pengaruhnya terhadap pemikiran kaum positivisme logis. Karya ini
mengajarkan bahwa tugas filsafat adalah penjernihan makna, analisis bahasa.
Filsafat harus didaarkan atas data empiris, seperti halnya ilmu empiris yang
lain, selain itu adalah “nonsense”.
Pandangan Umum Positivisme Logis
·
Mendekati persoalan makna melalui analisis logis
bahasa
·
Term empiris harus mengacu kepada fakta empiris
·
Makna ditentukan oleh kesesuaiannya dengan
realitas objektif
·
Penekanan pada struktur logis dan validitas
empiris
·
Kebenaran bersifat korespondensi, adanya
kesesuaian antara pernyaan dengan kenyataan
·
Penolakan terhadap segala macam metafisika, baik
yang deduktif, dialektis, maupun yang transendental
Persoalan Mendasar khas
Positivisme Logis
1. Prinsip
verifikasi: makna proposisi terletak pada prinsip verifikasi: kemungkinannya
untuk dicek dengan fakta-pengalaman. Proposisi (pernyataan yang dapat bernilai
benar atau salah) terdiri atas: analitik: makna predikat terkandung di dalam
subjek, misalnya: segitiga adalah bangun yang bersegi tiga; sintetik: predikat
menambah keterangan pada subjek, misalnya: manusia adalah hewan yang berpikir,
ada acuan kepada data empiris.
2. Kesatuan
ilmu: realitas (dunia ) ini satu sehingga dapat didekati oleh satu ilmu saja.
Ilmu yang kurang fundamental direduksi dengan ilmu yang lebih fundamental,
akhirnya ilmu empiris dapat disreduksi dengan ilmu fisika, karena fisika
sebagai ilmu yang paling fundamental.
3. Bahasa
dapat diungkapkan dengan acuan kepada objek fisik, yang bersifat empiris dan
yang dapat diuukur.
Filsafat menurut Positivisme Logis
·
Filsafat merupakan analisis logis konsep dan
kalimat di dalam ilmu, termasuk juga analisis metode ilmiah
·
Bahasa yang paling sempurna adalah bahasa ilmu,
karena ilmu menggunakan bahasa yang ketat dan pasti, didasarkan atas evidensi
empiris
·
Tugas filsafat adalah untuk mereformasi bahasa,
yaitu untuk mencari bahasa yang ideal, bahasa yang ketat dan memiliki makna
yang pasti
·
Dunia adalah dunia yang empiris, di luar yang empiris
harus ditolak
·
Yang bermakna adalah yang dapat diukur
SEJARAH
ILMU
Ilmu yang
kita kenal sekarang telah mengalami perjalanan sejarah yang amat panjang. Pada
awalnya berbagai temuan ilmiah jika dilihat dari pengetahuan yang kita miliki
sekarang tampak begitu sederhana dan bahkan terkadang kelihatan naif. Namun
satu hal yang harus kita apresiasi bahwa, setiap temuan baru betapa pun
sederhananya telah memberikan sumbangan kepada kemajuan peradaban. Peradaban
kita sekarang yang banyak diwarnai dengan penerapan ilmu dan teknologi, jika
kita lacak pada awalnya berangkat dari berbagai temuan yang amat sederhana.
Secara epistemologis, pengenalan manusia dalam rangka mendapatkan pengetahuan
memang berawal dari yang sederhana menuju kepada yang rumit dan canggih.
Sejarah ilmu akan menunjukkan dengan jelas bahwa kian hari pengetahuan ilmiah
semakin hari semakin maju dan berkembang.
Penyajian cerita sejarah akan lebih mudah
dipahami jika disampaikan secara periodis, meskipun periode yang satu saling
berhubungan dengan periode yang lain dan tidak dapat dipisahkan secara ketat.
Untuk tujuan ini, periodisasi atas dasar abad (zaman) akan digunakan di dalam
tulisan ini.
Jaman Kuno
Jika kita
lihat jauh ke belakang, beih (cikal-bakal) ilmu itu, dapat dikatakan, sama tuanya dengan sejarah
peradaban manusia. Titik awal pertumbuhan ilmu bermula pada jaman Babilonia dan
Mesir kuno (± 3000 SM), mulai zaman ini berbagai temyan besar bermunculan.
Temuan baru dihasilkan pada mulanya demi kebutuhan praktis manusia dan terutama
dalam rangka bertahan hidup. Manusia zaman kuno telah menguasai berbagai macam
teknik dan ketrampilan untuk membuat
peralatan, khususnya senjata untuk perang dan berbagai alat pemujaan.
Berbagai
temuan penting di dalam peradaban kuno, antara lain adalah:
·
Pertanian menetap, kurang lebih pada milenium
ke-6 Sebelum Masehi.
·
Kerajinan, peternakan, perahu, barang tembikar,
kurang lebih milenium ke-4 Sebelum Masehi.
·
Pemakaian perunggu kurang lebih pada milenium
ke-3 Sebelum Masehi
·
Penemuan huruf kurang lebih pada milenium ke-3
Sebelum Masehi, huruf kuno berupa ideogram yang dihasilkan oleh para pendeta
Sumeria
·
Penemuan kalender kurang lebih pada tahun 2700
Sebelum Masehi
Ilmu paling awal: matematika,
astronomi, dan ilmu pengobatan. Matematika dipergunakan untuk
hitung-menghitung: pecahan, perkalian, penambahan, dan pengurangan. Astronomi
dipergunakan untuk memprediksi datangnya musim, terjadinya banjir, pembagian:
tahun, bulan, hari, dan jam. Ilmu pengobatan, terdiri atas ramuan dan mantera
untuk penyembuhan orang yang menderita sakit; dan ketika itu takhayul dan mitos
masih sangat dominan sehingga pengobatan berarti pengusiran roh jahat yang
mengganggu manusia.
Ada hal yang menarik yang layak
kita catat bahwa awal peradaban ilmiah di barat dan di timur tumbuh sejaman:
peradaban Sungai Nil di Mesir, peradaban Kepulauan Yunani, Tigris dan Euphrat
di Irak, Indus di India, dan Hoangho di Cina. Peradaban awal, menarik juga
untuk dicatat, bahwa peradaban besar berawal dari daerah yang memiliki empat
musim. Hal ini mungkin terjadi karena adanya musim dingin yang menuntut manusia
untuk berusaha ekstra keras agar tetap survive sehingga memaksa
pikirannya untuk menemukan jalan pemecahan persoalan yang harus dihadapi.
1.
Filsafat Alam Yunani Pra Sokrates
Kendati peradaban
awal berkembang di dataran agraris yang subur, secara progresif dan sistematis
ilmu dalam arti yang mendekati pengertian kita sekarang berkembang di negara kepulauan Yunani, yang
hidup dari perdagangan dengan mengarungi lautan. Pelaut dibandingkan dengan
petani lebih memiliki jiwa petualangan, lebih memiliki perasaan keruangan dan
perasaan geometri yang sangat diperlukan untuk melakukan pengembaraan.
Nama-nama pemikir (filsuf, ilmuwan) awal yang memberikan sumbangan pemikiran
bagi lahirnya ilmu, antara lain:
·
Thales dari Miletus (625-545) dianggap sebagai
cikal-bakal dan titik tolak perkembangan ilmu dengan temuannya: peramalan tepat
tentang terjadinya gerhana yang terjadi di zamannya dan mengemukakan teori
pertama tentang terjadinya alam semesta. Menurut dia, dunia dan kehidupan ini
bermula dari air. Unsur pertama dunia adalah materi dan bukan kekuatan
supranatural ataupun daya ilahi sehingga sejak awalnya ilmu yang berkembang
hingga di zaman sekarang adalah ilmu yang bersifat materialistik. Segala unsur
yang bersifat supanatural, spiritual, rohani termasuk Tuhan sudah sejak lama
tidak diberi tempat di dalam ilmu yang bersifat materialistis dan empiristis.
Thales kurang lebih hidup sezaman dengan peradaban yang memisahkan para dewa
dari alam: Yahudi, Amos, Persia, Zoroaster, Indian, dan Budha.
·
Anaximenes (550-475 SM) berpendapat bahwa
substansi pertama yang membentuk alam semesta adalah udara. Pada zaat dia
hidup, orang sudah mulai percaya pada adanya “sebab” (atia) yang kelak akan dikembangkan lebih lanjut oleh
Aristoteles.
·
Heraclitus dari Ephesus (550-475 SM), menurut dia, dunia itu berasal dari api.
Prinsip perubahan: segala sesuatu itu serba berubah, tidak ada yang tinggal
tetap: ibaratnya orang tidak dapat memasuki untuk sungai yang sama yang
mengalir airnya untuk kedua kalinya, karena sungai tersebut telah menjadi
sungai yang berbeda dengan air yang serba baru dan terus mengalir. Segala
sesuatu senantia mengalir: phanhta re kei uden
menei (Pantha re Kei Uden Menei).
·
Phytagoras ( 582-500 SM), bagi dia, bilangan itu
merupakan model konseptual alam semesta, kuantitas dan bentuk menentukan wujud
seluruh objek alam. Bilangan adalah wujud dan citra objek alam. Dunia itu
terbagi menjadi 3 (tiga) bagian: Uranos; Cosmos, Olympos. Uranos: bumi dan
ruang sublunar; Cosmos: benda-benda langit yang dapat bergerak yang diikat oleh
bintang-bintang tetap; dan Olympos: merupakan tempat tinggal para dewa. Semua
benda bergerak secara melingkar dan seragam. Menurut Phytagoras, bumi dan bulan
bergerak mengitari api sentral (mengitari matahari). Pada zaman Phytagoras
orang mulai berpikir secara abstrak.
·
Alcmaeon (± 500 SM), seorang biolog dan ahli
anatomi. Dia mulai mengetahui bahwa mata itu berhubungan dengan otak, telinga
berhubungan dengan mulut. Menurut dia, “manusia dan alam semest sebagai satu
keseluruhan itu dibangun dengan rencana yang sama, manusia adalah mikrokosmos
yang merupakan copy makrokosmos dalam keseluruhannya.”
·
Empedocles dari Agrigentum (500-430 SM), menurut
dia segala sesuatu itu tersusun dari 4 unsur yang proporsinya berbeda secara
kuantitatif, yaitu terdiri atas: air, udara, bumi, dan api. Menurut dia
kehidupan berkembang secara evolutif.
·
Leucippus (±400 SM) dan Democritus dari Abdera
(±420 SM), menurut kedua pemikir ini segala sesuatu di alam semesta ini
tersusun dari atom-atom, yang secara fisik tidak dapat dibagi-bagi. Atom itu
jumlah tidak terbatas dan secara abadi bergerak dalam ruang kosong. Atom itu
ada secara kekal, tidak diciptakan dan tidak dapat dihancurkan. Atom berbeda
dalam ukuran, bentuk, dan beratnya. Atom bergerak melingkar, atom yang lebih
besar terdorong ke tengah dan membentuk bumi. Kehidupan muncul dari lumpur
abadi. Manusia sebagai mikrokosmos alam semesta. Hidup dan jiwa itu dekat
dengan api,.
Tampak jelas
bahwa pengetahuan ilmiah (ilmu) awal masih sangat diwarnai oleh spekulasi
filosofis, karena memang pada awalnya ilmu dan filsafat muncul secara
bersama-sama dan tidak terpisahkan. Sangat jelas pula bahwa sekalipun para
pemikir awal ini menyebut nama dewa tetapi mereka sudah berani berpikir bahwa
alam semesta ini bersifat material: kekal sejak semula, berarti tidak
terciptakan. Jadi penyebab prtama bukanlah sesuatu yang bersifat spiritual,
melainkan materi itu sendiri. Eksplanasi teologis dan mitis tidak lagi menarik
untuk dikemukakan di dalam memberikan penjelasan terhadap peristiwa alam
semesta. Titik pemikiran awal ini yang kelak akan terus berkembang menuju
pemikiran modern yang secara jelas tidak lagi memberi tempat kepada Tuhan dalam
urusan eksplanasi fenomena material-empiris.
II. PLATO DAN ARISTOTELES
Socrates
telah mengubah orientasi berpikir manusia, pada zaman sebelum Socrates orang
banyak memusatkan perhatian pada masalah prinsip alam semesta, sehingga
pemikiran sangat bersifat kosmologis. Mulai zaman Sokrates dan kaum Sofis orang
mulai tertari untuk berpikir tentang diri manusia sendiri, khususnya yang
berkaitan dengan masalah moralitas. Socrates diteruskan oleh Plato dan Aristoteles yang telah membawa
babak baru pemikiran tentang masalah sosial-kemanusiaan. Plato dan Aristotels
menduduki posisi yang istimewa dan menempati puncak pemikiran Yunani klasik,
sesudah Plato dan Aristoteles di Yunani relatif tidak muncul lagi tokoh pemikir
yang sekaliber mereka. Sering dikatakan bahwa pada Plato dan Aristoteles ilmu
sosial-kemanusiaan mengalami kemajuan yang spektakuler melampaui kemajuan yang
dicapai ilmu alam.
·
Plato (427-347 SM), dia adalah pendiri Academia,
lembaga pendidikan yang paling tua yang tradisinya kita warisi dan kita teruskan
sampai sekarang. Plato lah orang yang pertama-tama melembagakan pendidikan
secara teratur dan terstruktur, akibat jasa dia sekarang kita dapat
mengembangkan tradisi akademis secara formal dan modern.
Pandangan
Plato berkaitan dengan persoalan ilmu sosial-kemanusiaan yang perlu kita
ketahui adalah teorinya tentang negara. Bagi Plato, tujuan hidup manusia adalah
untuk mencapai eudamonia (eudamonia)
artinya hidup yang baik. Pemerintah harus mengutamakan kepentingan dan
keselamatan orang yang diperintah, pemerintah tidak boleh mengutamakan
kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, penguasa harus mengabdi dan melayani rakyat dan bukan yang sebaliknya: penguasa
minta dilayani rakyat.
Menurut Plato:
di dalam negara ideal terdapat tiga (3) golongan masyarakat, antara yang satu
dan yang lain saling tergantung, yang akan menciptakan sebuah sitem
pemerintahan yang kuat dan sejahtera jika masing-masing golongan dapat
melaksanakan keutamaan masing-masing. Tiga golongan tersebut adalah:
1.
Golongan tertinggi, para penjaga yang terdiri atas para
aparatur pemerintah, yang digolongkan sebagai kaum penjaga. Mereka yang
termasuk golongan ini adalah orang bijak (para filsuf), mereka adalah orang
yang mengetahui apa yang baik bagi semua orang, karena mereka memiliki
kebijaksanaan.
2.
Golongan pembantu, yang terdiri atas para prajurit yang
bertugas untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga negara. Para
prajurit ini merupakan alat negara yang menjamin tegaknya hukum dan keamanan,
yang menjamin agar rakyat taat kepada para penjaga. Prajurit memiliki
keutamaan, yaitu yang berupa keberanian.
3.
Golongan terendah, rakyat biasa, yang terdiri atas:
para petani, tukang, pedagang, dan orang kebanyakan dengan profesinya
masing-masing. Negara menggantungkan kehidapan perekonomian pada rakyat biasa
ini. Rakyat biasalah yang mengendalikan dan menjalankan roda perekonomian
negara. Keutamaan yang dimiliki rakyat biasa adalah: pengendalian diri.
Bagi Plato,
baik-buruknya pemerintahan ditentukan oleh ada tidaknya konstitusi.
Pemerintahan monarki menjadi yang terbaik dan demokrasi menjadi sistem
pemerintahan yang terjelek bila pemerintah diatur dengan konstitusi. Sedangkan
demokrasi merupakan pemerintahan yang terbaik dan monarki menjadi sistem
pemerintahan yang terjelak jika negara tidak memiliki konstitusi.
·
Aristoteles (384-322 SM), dia adalah seorang
ahli dalam berbagai cabang pengetahuan dan merupakan nenek moyang dari berbagai
macam ‘ilmu modern’, baik ilmu formal maupun ilmu sosial-kemanusiaan.
Temuan monumental Aristoteles,
antara lain:
1. Prinsip
berpikir logis: prinsip identitas, prinsip nonkontradiksi, dan prinsip tidak
ada kemungkinan ketiga. Formulasi prinsip berpikir ini masih berlaku sampai
sekarang dan mungkin juga akan tetap berlaku jauh ke depan. Sejauh manusia
berusaha untuk berpikir logis tidak dapat melanggar prinsip bahwa sesuatu itu
adalah dirinya sendiri, sesuatu tidak
dapat menjadi dirinya sendiri sekaligus bukan dirinya sendiri, sesuatu
itu dirinya sendiri atau bukan dirinya sendiri dan tidak ada kemungkinan
ketiga. Karena pernyataan pengetahuan yang melanggar prinsip tersebut tidak
akan terpahami secara rasional sehingga menjadi tidak bermakna.
2. Sepuluh
kategori yang ditemukan oleh Aristoteles selain memberikan pemahaman terhadap
realitas, bahwa esensi itu adalah sesuatu yang membuat sesuatu menjadi sesuatu,
yang menurut bahasa Aristoteles adalak substansi sebagai kategori utama
realitas. Sesuatu dapat mewujud menjadi sesuatu yang utuh ketika dilengkapi
dengan sembilan aksidensi. Kategori Aristoteles ini dalam perkembangan yang
selanjutnya dalam dunia kebahasaan telah membuat kita mengenal sepuluh jenis
kata, dan kata yang setara dengan subtansi adalah kata benda. Sedangkan
sembilan aksidensi setara dengan sembilan jenis kata di luar kata benda.
3. Hukum
kausalitas: material, formal, efisien, dan final. Bagi Aristoteles sesuatu itu
terjadi bukan tanpa sebab, tidak ada sesuatu yang ahistoris. Setiap realitas
dapat dilacak penyebabnya: bahan, bentuk, proses, dan tujuannya. Pendekatan
dengan mencari sebab merupakan usaha yang sangat penting di dalam pemecahan
masalah, baik dan kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia ilmiah. Terjadfinya
persoalan baru dapat dipecahkan apabila kita mengetahui penyebab dari timbulnya
persoalan tersebut, sehingga di dalam eksplanasi ilmiah eksplanasi kausal
merupakan eksplanasi yang sangat penting di dalam pengembangan ilmu.
4. Materi dan
bentuk hyle (hyle atau materi) dan morfe
(morfe atau bentuk), potensi dan aktus. Menurut Aristoteles semua realitas
empiris terdiri atas materi dan bentuk, perwujudan tidak pernah akan terjadi
jika salah satu dari kedua unsur tersebut tidak dalam kesatuan. Manusia,
misalnya, dapat dijelaskan dengan teori materi dan bentuk sebagai satu
kesatuan. Materi identik dengan perwujudan fisik manusia, yang tidak lain
terdiri atas unsur material yang terdapat di dalam dunia ini; sedangkan jiwa
identik dengan bentuk. Manusia sebagai kesatuan antara fisik dan jiwa, jika
salah satu dari keduanya dihilangkan, maka manusia tidak akan menjadi manusia
lagi. Tidak ada manusia tanpa tubuh, dan jika tubuh tanpa jiwa maka akan
menjadi mayat, bukan manusia lagi.
Potensi
dan aktus, potensi adalah kemungkinan dan setiap kemungkinan dapat menjadi
aktual atau tidak. Bisa jadi manusia di dalam dirinya memiliki banyak potensi,
misalnya potensi untuk berperilaku sebagai hewan mamalia dan predator yang amat
kejam. Namun karena manusia itu bukan sekedar hewan, melainkan hewan yang mampu
berpikir, maka potensi untuk berperilaku layaknya hewan mamalia jarang yang
sungguh-sungguh menjadi aktual. Pikiran telah membuat manusia menjadi beradab,
manusia tidak cukup dengan memuaskan nafsu alamiah demi kelangsungan hidupnya.
Hidup, bagi manusia, bukan untuk makan, melainkan makan untuk hidup. Pada taraf
hewani, sudah terdapat unsur teleologis (telos
: telos: tujuan), yaitu bahwa makan demi melangsungkan hidup dan
kelangsungan hidup demi naluri untuk mewariskan generasi. Pada taraf manusia
unsur teleologis diangkat ke dataran yang lebih tinggi lagi: manusia mampu
memberikan arah hidupnya kepada sesuatu yang lebih bermartabat, menjadikan
citra dirinya khas manusiawi. Lebih dari itu, manusia dengan pikirannya mampu
untuk mengendalikan diri, dapat membedakan mana yang seharusnya menjadi sarana
dan mana yang mesti menjadi tujuan; meskipun terkadang sarana suatu ketika
dapat menjadi tujuan antara dalam rangka mencapai tujuan yang lebih tinggi: eudamonia (eudamonia: kehidupan yang baik,
yang dapat memberikan kebahagiaan).
5.
Pengenalan empiris dan rasionalis: Aristoteles secara epistemologis dapat
dikategorikan sebagai seorang empiris dan sekaligus rasionalis. Bagi
Aristoteles, pengetahuan manusia
berkaitan dengan benda fisik didapatkan melalui indera, namun indera tidak
cukup tanpa dukungan dari kemapuan manusia untuk berpikir.
6.
Pembagian realitas: Aristoteles membagi realitas menjadi empat (4) tingkatan,
semakin ke atas semakin rumit, dan realitas inilah yang sesungguhnya kita kenal
dewasa ini sebagai objek material ilmu. Realitas tersebut adalah benda tidak
hidup (anorganik), nabati, hewani, dan human. Benda tidak hidup dipelajari oleh
rumpun ilmu fisis, nabati dan hewani oleh rumpun ilmu biologis, dan human yang
banyak menjadi kajian rumpun ilmu medis dan ilmu sosial-kemanusiaan. Dari dulu
hingga sekarang ilmu empiris hanya mempelajari empat realitas tersebut, dan
belum banyak mengalami perubahan. Sekalipun demikian bukan berarti ilmu tidak
mengalami perkembangan, sejalan dengan semakin canggihnya pengetahuan manusia,
dewasa ini realitas yang cukup menonjol yang menjadi kajian pengetauan ilmiah
antara lain: realitas angkasa luar dan munculnya realitas dunia maya dengan
berkembangnya pengetahuan tentang teknologi, khususnya komputer.
7. Teori geosentris: ajaran Aristoteles bahwa
bumi sebagai pusat tata surya cukup lama dipercaya kebenarannya dan bahkan
pernah dipandang sebagai ajaran resmi gereja. Temuan Aristoteles ini rupanya
merupakan temuan yang paling lemah, yang hanya mampu bertahan hingga abad XVI
Masehi. Kemunculan teori heliosentris dari Copernicus, Galileo Galilei, Kepler
agaknya telah menumbangkan dominasi teori Aristoteles. Sekalipun demikian,
tumbangnya teori geosentris Aristoteles ini telah semakin menyadarkan kita
bahwa kebenaran ilmiah itu tidak pernah selesai dan tuntas. Kebenaran teori,
hukum ilmiah yang dipercaya benar pada suatu ketika akan runtuh juga jika dapat
ditemukan teori dan hukum baru yang lebih rasional, didukung evidensi empiris
yang lebih meyakinkan dan memiliki kemampuan eksplanatori yang lebih
memadai.
III. ILMU JAMAN PERTENGAHAN
(Abad IX – XV)
Jaman
pertengahan, khususnya di Eropa, disebut jaman kegelapan, yaitu ketika terjadi
stagnasi pemikiran manusia. Bukan berarti manusia berhenti berpikir sama
sekali, melainkan manusia lebih memusatkan perhatian pada sesuatu yang bersifat
supranatural dan enggan berpikir untuk sesuatu yang bersifat empiris dan
material. Pada jaman ini tidak banyak kemajuan di dalam ilmu empiris, karena
terjadi usaha dogmatisasi kebenaran, khususnya pemikiran Plato, Aristoteles dan
ajaran Alkitab sebagai otoritas tertinggi, satu-satunya kebenaran yang mutlak
dan tidak dapat digoyahkan. Pada jaman ini agama Nasrani sangat dominan dalam
kehidupan orang Eropa, filsafat dan ilmu diabdikan sepenuhnya pada agama.
Jaman
kegelapan di Eropa bersamaan waktunya dengan jaman keemasan pemikiran di dunia
Muslim. Dunia Islam juga berusaha mengembangkan
dan menafsirkan pemikiran Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles,
tetapi tidak sampai terjebak menjadikannya sebagai dogma. Ketika Eropa asyik
dengan masalah Ketuhanan, sebenarnya di jazirah Arab juga berkembang hal yang
sama; sekalipun demikian di samping mengembangkan pemikiran tentang masalah
Ketuhanan, para ilmuwan Arab tidak melupakan ilmu empiris, terutama ilmu kimia
dan ilmu kedokteran. Nama besar Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina muncul pada
zaman ini. Sayangnya, kemajuan pemikiran, baik yang spekulatif maupun yang
empiris di dunia Arab tidak bertahan lama, karena rupanya orang di zaman itu
belum siap menerima kemajuan berpikir secara bebas. Berpikir bebas dianggap
bertentangan dengan ajaran agama dan harus dihentikan. Pada abad XII terjadi
pemberangusan dan pembakaran besar-besaran atas buku-buku yang berisi pemikiran
filsafat, khususnya filsafat Yunani. Kejadian ini menghentikan iklim ilmiah di
jazirah Arab; untungnya sebagian buku masih dapat diselamatkan oleh para
sarjana barat. Para sarjana barat mulai menemukan kembali harta warisan yang
sangat berharga dari zaman Yunani klasik, kemudian buku-buku tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa barat, khususnya bahasa Latin dan dipelajari.
Kebangkitan kembali dunia barat tidak lepas dari semangat untuk berpikir bebas
sebagaimana yang dilakukan oleh para pemikir Yunani klasik.
Menjelang
akhir jaman pertengahan di Eropa mulai bermunculan universitas besar yang kelak
akan memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan ilmu. Berbagai universitas
tersebut lahir pada abad XIII, antara lain Universitas Paris, Oxford,
Cambridge, Bologna, dan Padua.
Hal
penting yang terjadi di zaman pertengahan yang patut dicatat berkaitan dengan
sejarah ilmu, antara lain:
1. Orang
barat mulai menerjemahkan dan mempelajari kembali karya para pemikir Yunani
klasik.
2. Temuan
penting: orang Cina menemukan bubuk mesiu dan kertas sebagai alat tulis.
Penemuan bubuk mesiu yang kemudian dimanfaatkan oleh orang barat untuk membuat
senjata sehingga mengubah cara berperang, sebelumnya berperang harus satu lawan
satu dengan berhadap-hadapan, dengan senjata yang menggunakan bubuk mesiu
perang dapat dilakukan dari jarak jauh. Penemuan kertas sebagai alat tulis
membuat pengetahuan ilmiah dapat dipelajari secara masal, hal ini sangat besar
sumbangannya dalam penyebarluasan ilmu ke seluruh bangsa di dunia. Pada zaman
pertengahan ini, pergaulan antar bangsa mulai terbuka.
3. Tradisi
keahlian dan tradisi akademis mulai muncul. Pada hakikatnya, dari dulu sampai
sekarang, ilmu tumbuh dan dikembangkan oleh masyarakat akademis yang ahli dalam
bidang tertentu yang telah terbiasa dengan tradisi akademis.
4. Eksperimentasi
mulai dikembangkan. Pada zaman ini para ilmuwan telah mulai melakukan berbagai
eksperimen, baik yang berhubungan dengan fisika dan kimia. Eksperimen inilah
yang sangat besar sumbangannya di dalam memajukan ilmu empiris di zaman yang
kemudian.
Tokoh yang menonjol pada zaman
pertengahan antara lain adalah:
1. Roger
Bacon (1214-1294) dari Universitas Oxford. Menurut Bacon, ilmuwan atau pakar
harus mengetahui ilmu alam melalui eksperimen, ilmu pengobatan, ilmu kimia, dan
segala sesuatu yang ada di langit dan di bawahnya lebih daripada yang diketahui
oleh orang awam”. Bacon bereksperimen di dalam bidang optik.
2. Piere
de Maricourt, bereksperimen di dalam bidang magnetik.
3. Mondino
de Luzzi, mempelajari pembedahan dan anatomi tubuh manusia.
4. Vital
du Four, Magister Salernus: ahli kimia yang menemukan alkohol lewat teknik
destilasi anggur dan bir.
5. William
Ockham: mempelajari ilmu tentang gerakan, menurut dia, penggerak pertama
bukanlah Tuhan, unsur fisik dapat menimbulkan gerakan, misalnya yang terjadi
pada magnet yang dapat menggerakkan logam besi.
IV. REVOLUSI ILMIAH ABAD XVI
DAN XVII
Abad XVI
ilmu secara jelas mulai memisahkan diri dari filsafat yang dipelopori oleh ilmu
alam. Tuntutan ilmu untuk menjadi empiris, yaitu pernyataannya harus didukung
dengan evidensi empiris membuat ilmu
tidak lagi dapat menjadi spekulatif. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa pada
abad XVI ilmu alam telah mengalami kematangan, sedangkan ilmu
sosial-kemanusiaan baru lahir tigaratus tahun kemudian. Ilmu sosial-kemanusiaan
masih berkembang di bawah kategori filsafat sosial dan etika.
Nama-nama
besar yang memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu antara lain adalah:
1. Copernicus
(1473-1543), dengan teori heliosentrisnya telah mengubah pandangan manusia
tentang tata surya. Teori geosentris Aristoteles yang dianggap benar selama
ribuan tahun, akhirnya digantikan oleh teori heliosentris Copernicus, yang
menyatakan bahwa pusat tata surya adalah matahari dan bukan bumi. Menurut Copernicus,
bumi beputar pada porosnya setiap hari, mengorbit tahunan mengitari matahari,
putaran poros bumi saat berputar yang menyebabkan presisi siang-malam.
Penggerak pertama alam semesta tidak lagi penting, bagi Copernicus, matahari
pada pusat tata surya adalah pengatur benda-benda langit.
2. Kepler
(1571-1630), planet berputar dengan gerakan elip mengitari matahari pada
porosnya. Gerakan planet tidak uniform; periode revolusi planet mengitari
matahari adalah proporsional dengan jaraknya.
3. Gilbert
dari Colchester, menurut dia, bumi sebagai magnet rasasa, magnet sebagai
penyebab gerakan dan perubahan: misalnya, yang terjadi pada kompas.
4. Francis
Bacon (1561-1626), dengan magnum opus-nya Novum Organon, memberikan jalan baru
bagi riset ilmiah. Jika sebelumnya ilmuwan mengandalkan pada metode deduktif,
metode yang tidak memberikan keterangan baru bagi realitas empiris. Metode
induktif yang ditemukan Bacon inilah
yang nantinya semakin membuat ilmu berkembang dengan pesat. Bacon juga
mengajarkan bahwa ilmu harus dikembangkan secara eksperimental dengan
memperhatikan prinsip, proses, dan fakta.
V. ILMU ABAD XVIII
Implementasi
ilmu menimbulkan revolusi industri, sistem ekonomi kapitalisme semakin
berkembang. Selain ilmu alam semakin mengalami kematangan, ilmu sosial juga
mulai bermunculan. Tokoh penting yang muncul pada abad ini antara lain:
1.
Isaac Newton (1642-1727), dengan karyanya Philosophiae
Naturalis Principia Mathematica.
Newton menemukan teori gravitasi universal, revolusi di dalam bidang
mekanika.
2.
Lavoisier: revolusi dalam bidang kimia: teori oksidasi.
3.
Adam Smith (1723-1790), dengan karyanya An Inquiry into
the Nature and Causes of the Wealth of Nation, dia membuat ilmu ekonomi
berusaha untuk menjadi ilmu empiris. Menurut Smith, pasar dapat dipelajari, yaitu
dengan mempelajari hukum penawaran dan permintaan. Kemakmuran dapat dicapai
jika individu bebas menentukan dan memenuhi kebutuhannya. Ajaran Adam Smith
inilah yang kemudian menjiwai sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme. Negara
sesedikit mungkin campur tangan dalam urusan ekonomi rakyat, biarlah semua
diatur oleh tangan-tangan yang tidak tampak (Invincible hand).
Para ilmuwan
mulai tertarik pada evolusi dan mata rantai kehidupan, embriologi: perkembangan
organisme individual, struktur dan fungsi organisme hidup.
VI.
ILMU ABAD XIX
Berbagai
temuan besar pada abad XIX antara lain adalah:
1. Geologi
mulai berkembang menjadi ilmu yang mandiri.
2. Teori
evolusi Darwin mengubah pandangan manusia tentang asal-usul makhluk hidup pada
umumnya dan manusia pada khususnya.
3. Teori
gelombang cahaya, listrik dan magnetisme, termodinamika, ilmu dan rekayasa,
aplikasi kimia dan mikrobiologi berkembang dengan pesat.
4. Lahirnya
sosiologi lewat pemikiran Auguste Comte merupakan tonggak penting bagi berbagai
ilmu sosial untuk menjadi ilmu empiris dan positif.
5. Munculnya
filsafat Marx, yang mengajarkan sosialisme-komunisme, yang karena dipraktekkan
oleh Lenin dan penerusnya di Uni Soviet, meskipun sekarang tidak populer lagi,
pernah membelah dunia menjadi dua blok besar: blok sosialis-komunis, yang
dipimpin USSR dan blok liberalis-kapitalis, yang dipimpin oleh USA.
VII. ILMU ABAD XX
Berbagai
temuan ilmiah spektakuler banyak dihasilkan pada abad XX, kemajuan ilmu dan
teknologi berjalan sangat pesat. Manusia dapat mencapai sesuatu yang sulit
dibayangkan pada abad-abad sebelumnya: penemuan berbagai alat transportasi dan
alat telekomunikasi telah benar-benar membawa manusia mampu menghemat energi
dan waktu.
Temuan
yang dihasilkan pada abad XX antara lain:
1. Teori
relativitas Einstein
2. Teori
kuantum dan struktur atom
3. Astrofisik
dan teori struktur dunia
4. Teori
makroekonomi Keynes
5. Manusia
semakin tertarik pada misteri alam semesta: penjelajahan antariksa
6. Berbagai
teori baru berkaitan dengan bidang ilmu tertentu terus bermunculan: ilmu melahirkan
spesialisasi, ilmu menjadi semakin terpecah dan semakin jauh satu sama lain.
EKSPLANASI
ILMIAH
A.Esensi Eksplanasi Ilmiah
1. Arti
Penting eksplanasi ilmiah
Persoalan tentang eksplanasi
ilmiah telah menjadi pusat perhatian para filsuf pada zaman sebelum Socrates
hingga zaman modern (Woodward, 2003: 1). Sekalipun demikian, formulasi yang sangat
eksplisit di zaman Yunani kuno baru
dapat ditemukan pada Aristoteles (384-322 SM) yang mengatakan bahwa, “Manusia
tidak berpikir dirinya telah mengetahui sesuatu sebelum benar-benar mengetahui
‘mengapa’ sesuatu itu memang demikian adanya” (Kim, dalam Edwards, ed., 1967,
2: 159). Pernyataan tersebut, sampai tingkatan tertentu dapat dikatakan, sangat
antisipatif, membuka cakrawala pengetahuan manusia, khususnya pengetahuan
ilmiah bagi peradaban manusia di masa depan. Manusia sebagai a ratinal animal
memiliki kodrat untuk senantiasa mendapatkan pengetahuan karena dorongan rasa
ingin tahu (curiousity), rasionalitas manusia tidak pernah puas dan mau
menerima begitu saja segala sesuatu yang dihadapinya. Setiap fenomena yang
menampak dicerap oleh indera dan berusaha untuk dimengerti oleh pikiran, usaha
ini dilakukan secara terus-menerus dalam keseharian hidup manusia.
Usaha untuk mendapatkan
pengetahuan bermula dalam tahap common sense, di dalam tahap ini
pengetahuan diperoleh dengan cara yang benar-benar aseli dan tanpa ada prosedur
baku hasil rekayasa manusia: segala sesuatunya berlangsung sedemikian alamiah
dan kodrati. Akan tetapi, manusia tidak puas hanya dengan “pengetahuan biasa
dan sangat umum” ini; hasrat ingin tahu pada diri manusia mendorongnya untuk
terus dapat memperoleh pengetahuan yang andal dan dapat dipercaya, yang
didukung oleh bukti dan evidensi yang meyakinkan. Maka, secara tidak
terelakkan, manusia harus menentukan prosedur yang relatif baku, yang dapat
digunakan oleh siapa pun untuk menghasilkan pengetahuan yang terorganisasi,
valid, sistematik, terstruktur, dan mengandung nilai kebenaran. Usaha ini
berlangsung secara terus-menerus sejak awal ilmu mulai dibangun hingga ilmu
mengalami kematangan; dan tampaknya usaha ini akan tetap terus berlangsung
sejauh manusia masih mengembangkan peradaban melalui kemajuan berpikir ilmiah.
Keinginan untuk memberikan
eksplanasi sistematis dan yang dapat dikendalikan melalui evidensi faktual
adalah yang melahirkan ilmu empiris. Menurut Nagel (1974: 4-15) tujuan khas
ilmu adalah untuk mengorganisasikan dan mengklasifikasikan pengetahuan. Ilmu,
secara lebih khusus berusaha untuk menemukan dan merumuskan pernyataan dengan
istilah umum berkaitan dengan kondisi yang menyebabkan beraneka ragam kejadian
itu terjadi, pernyataan tersebut menentukan kondisi yang merupakan eksplanasi
bagi setiap kejadian. Tujuan tersebut dapat dicapai hanya dengan pembedaan atau
pengisolasian unsur tertentu dalam pokok soal yang dipelajari dan dengan
mengetahui secara pasti pola ketergantungan yang berulang antara unsur yang
satu dengan unsur yang lain. Tugas ilmu yang utama adalah untuk memberikan
eksplanasi sistematis dan yang dapat dipertanggungjawabkan. Eksplanasi dapat
diberikan untuk kejadian yang bersifat: individual, proses yang berulang,
maupun regularitas yang tetap maupun yang bersifat statistik. Masing-masing
ilmu, biasanya, memberikan tekanan yang berbeda dalam memberikan eksplanasi sistematis
yang dikembagkannya. Namun tuntutan akan eksplanasi sistematis tidak pernah
absen dari ilmu yang pernah ada.
Para ilmuwan lebih dari sekedar
mencatat fenomena semata-mata, namun yang lebih utama adalah mencari pemahaman.
Ilmuwan mencari hukum alam yang mengatur kejadian patikular dan prinsip
yang mendasarinya (Copi, 1978: 460).
HUKUM ILMIAH
ASUMSI DASAR ILMU EMPIRIS
Ilmu (pengetahuan ilmiah), sejauh ini, merupakan pengetahuan yang
paling memadai yang dapat dicapai manusia. Tidak disangsikan bahwa, dari segi
proses terjadinya maupun dalam sejarah perkembangannya, ilmulah satu-satunya
jenis pengetahuan yang dimiliki manusia yang didukung oleh berbagai evidensi
empiris. Kebenaran ilmiah yang termuat di dalam proposisi senantiasa diupayakan
ada korespondensi dengan kenyataan. Ilmu dicapai melalui metode ilmiah dan
disusun dalam satu sistem yang sebisa mungkin tidak ada kontradiksi di
dalamnya, sehingga ilmu sering disebut pengetahuan yang sistematis-metodis. Hal
ini mengimplikasikan bahwa ilmu disusun dengan menggunakan prosedur tertentu
dan tidak ada kesan arbitrer. Argumentasi, alasan, dan contoh selain rasional juga didukung oleh data dan
fakta sehingga manusia yang sesuai dengan kodratnya bersifat rasional
dapat menerima dan mengamini apa yang dinyatakan oleh ilmu. Dengan demikian, ilmu lebih memiliki
kepastian dibandingkan dengan jenis pengetahuan yang lain, sekali pun
keberhasilan yang dicapai dengan metode ilmiah melibatkan asumsi tertentu yang
tidak dapat dijustifikasi sendiri melalui metode ilmiah. Ibaratnya kayu
penggaris yang dapat mengukur panjang barang sesuatu yang lain, namun tidak
dapat mengukur dirinya sendiri, meskipun de facto kita percaya. tahu dan
menggunakannya, bahwa panjang penggaris itu, misalnya 1 m atau 100 cm.
Asumsi yang dimaksudkan di sini
adalah sesuatu yang dianggap taken for granted, kebenarannya
tidak diragukan lagi, bahkan mungkin di kalangan para ilmuwan sendiri tidak pernah disadari bahwa ilmu yang
selama ini digelutinya dibangun bukan tanpa dasar. Namun, ilmuwan yang
mempelajari filsafat ilmu tentunya akan mengerti, karena persoalan asumsi dasar
ilmu merupakan salah satu persoalan teknis di dalam filsafat ilmu dan biasa
menjadi perbincangan para filsuf ilmu.
Ilmuwan bekerja, yaitu melakukan
riset maupun mengajarkan ilmunya—jika dia tenaga edukatif—melakukan langkah dan
prosedur yang biasanya baku dan telah umum diterima oleh masyarakat ilmiah yang
menggeluti ilmu yang sejenis. Pengetahuan tentang asumsi dasar ilmu, paling
tidak, akan membuat ilmuwan menyadari akan adanya sesuatu yang bersifat
fundamental yang menjadi latar belakang bagi dikembangkannya ilmu. Lebih dari
itu, pengetahuan tentang asumsi dasar ilmu akan membuat ilmuwan berpikiran
semakin terbuka, bahwa di balik sesuatu
yang empiris ada sesuatu yang dapat dikatakan “metafisis” “maupun
epistemologis” yang keberadaannya menopang seluruh bangunan ilmu. Pengetahuan
tentang asumsi dasar ilmu akan membuat ilmuwan semakin sadar bahwa kebenaran
ilmiah itu pada akhirnya bersifat hipotetis semata. Yang namanya benar tidak
seratus persen benar, karena kebenaran ilmiah itu sendiri berlangsung dalam
proses yang secara terus-menerus dalam penyempurnan. Bahkan suatu ketika hukum,
teori, atau sesuatu yang telah ratusan bahkan ribuan tahun dianggap fakta ternyata
merupakan sesuatu yang keliru ketika ditemukannya hukum, teori, fakta baru yang
lebih mencerminkan realitas.
Asumsi dasar ilmu antara lain adalah:
1. Prinsip Keteraturan Alam
(Prinsip Kosmologis), yaitu bahwa alam semesta ini merupakan
cosmos dan bukan chaos. Artinya bahwa di dalam alam
semesta ini terdapat keteraturan, alam semesta
menunjukkan perilaku tertentu. Di dalam alam semesta ini tidak ada sesuatu yang muncul secara spontan
dan tanpa sebab. Peristiwa yang terjadi secara berulang mungkin untuk terus
terjadi dengan cara yang demikian. Secara historis: apa yang terjadi di masa
lampau dapat terjadi di masa kini dan di masa depan.
Prinsip Keteraturan dan Prediksi
Karena adanya keteraturan inilah, ilmu empiris mungkin untuk membuat
prediksi atas apa yang akan terjadi di masa depan, atau melakukan retrodiksi
dengan melihat apa yang terjadi di masa lampau atas dasar data dan fakta yang
ditemukan pada hari ini. Ilmu empiris dapat dikatakan telah mengalami kemajuan
yang penting apabila telah dapat membuat prediksi yang mendekati kebenaran.
Prediksi sejak awal perkembangan ilmu merupakan hal yang sangat penting, karena
dengan kemampuan membuat prediksi orang dapat melakukan antisipasi terhadap apa
yang akan terjadi, terlebih lagi jika hal itu berkaitan dengan sesuatu yang
dapat mengancam kehidupan manusia. Prediksi yang tertua, yang tercatat dalam
sejarah ilmu adalah yang dilakukan oleh Thales pada abad VI SM yang dapat
secara tepat meramalkan terjadinya gerhana matahari secara tepat yang terjadi
di zamannya. Selain itu, orang Mesir kuno juga telah dapat memprediksi kapan
akan terjadi banjir di Sungai Nil, sehingga mereka dapat mempersiapkan segala
akibat yang akan ditimbulkan oleh banjir.
Orang Jawa, sampai tingkatan tertentu juga telah dapat melihat keteraturan
yang terjadi di alam semesta ini. Ilmu pranata mangsa yang membagi satu tahun
menjadi 12 musim yang masing-masing memiliki usia yang berbeda-beda,
membuktikan bahwa orang Jawa sudah sejak lama melihat keteraturan yang terdapat
alam semesta. Dengan pengetahuan tentang pranata mangsa ini orang dapat
melakukan antisipasi terhadap alam, misalnya: kapan mereka harus menanam padi,
menanam palawija atau kapan harus membuat sumur agar jika kemarau panjang
airnya tidak habis. Sayangnya, pengetahuan yang berasal dari kearifan lokal
(local genius) ini tidak dikembangkan lagi, bahkan tidak banyak lagi orang Jawa
yang masih mengetahui ilmu pranata mangsa.
Ilmuwan di dalam melakukan prediksi harus berhati-hati, apalagi jika
ilmuwan tersebut telah memiliki nama besar dan cukup berpengaruh di dalam
masyarakat (public figure). Karena bisa terjadi, khususnya dalam kehidupan
sosial masyarakat, prediksi yang didasarkan atas data yang benar justru
meleset; dan sebaliknya, prediksi yang di dasarkan atas data yang salah namun
justru benar-benar menjadi kenyataan. Berkaitan dengan hal ini, dapat
dicontohkan prediksi yang dilakukan oleh Karl Marx dan prediksi yang dilakukan
oleh seorang ahli perbankkan.
Karl Marx (1818-1883), bapak Sosialisme-Komunisme, di zamannya ketika revolusi
industri telah bergulir dan mengalami kemajuan pesat, dia melihat terjadinya
ketimpangan sosial yang luar biasa antara kaum buruh (proletar) dan pemilik
industri (kaum kapitalis, borjuis). Ketika itu kaum buruh benar-benar
dieksploitasi oleh para pengusaha: bekerja memeras tenaga, upah sangat rendah
yang hanya dapat untuk hidup secara pas-pasan. Kaum buruh jumlahnya sangat
besar; sedangkan kaum kapitalis tidak begitu banyak jumlahnya, namun memiliki
kekuasaan yang luar biasa besar terhadap
para buruhnya. Kaum buruh kalau tidak mau dipecat harus menuruti apa yang
dimaui oleh pengusaha. Marx melihat betapa kaum buruh diperas habis-habisan dan
hidup dalam penderitaan; sedangkan para pengusaha dengan modalnya hidup makmur
tanpa susah payah dengan memeras keringat. Kenyataan inilah, antara lain, yang mengilhami Marx untuk mengubah dunia dengan memperbaiki nasib
kaum buruh. Marx membayangkan dunia yang tanpa penderitaan, maka dia
menghendaki lahirnya masyarakat Sosialis-Komunis. Dia menganjurkan kepada kaum
buruh sedunia untuk bersatu dan merebut alat produksi. Kaum buruh harus jadi
penguasa, dan satu-satunya cara hanyalah dengan revolusi. Marx bersama
kolaboratornya, Engels (1820-1895) dengan berbagai tulisannya giat menyuarakan
revolusi kaum buruh. Namun ide mereka baru menjadi kenyataan setelah dibaca dan
dipraktekkan oleh Lenin (1870-1924) yang secara filosofis dia berpendapat, bahwa untuk memahami Marxisme
orang harus mempelajari filsafat Hegel dengan benar. Lenin lah yang telah
membawa abad XX menjadi abad komunisme, yang pada akhirnya sampai runtuhnya Uni
Soviet pada dasawarsa 1980-an berhasil membelah dunia menjadi dua bagian blok
kekuatan politik besar. Blok Timur dengan komandan Uni Soviet dan Blok Barat
dengan Amerika sebagai pemukanya.
Era Komunisme telah berlalu, Soviet telah bubar, Cina Komunis telah
memberi tempat kepada perekonomian yang berbasis kapital. Prediksi yang
dilakukan oleh Marx akhirnya tidak menjadi kenyataan, komunisme tidak lagi
sepopuler dulu. Marx melakukan apa yang dinamakan dengan suicidal prediction
(ramalan dengan data yang benar namun yang diramalkan tidak terjadi, meleset).
Data yang dijadikan dasar prediksi memang benar, paling tidak ada kecenderungan
untuk menjadi benar “orang atau massa yang ditindas dan ditekan suatu ketika
pasti melakukan perlawanan” namun dalam kenyataannya tidak demikian. Di
Inggris, tempat awal bergulirnya revolusi industri tidak terjadi revolusi.
Revolusi justru terjadi di Rusia yang industrinya relatif terbelakang, dan di
Cina yang masyarakatnya petani. Sampai tingkatan tertentu, apa yang
diprediksikan Marx justru menggugah kesadaran kaum kapitalis untuk mengadakan
perbaikan terhadap nasib kaum buruh, kaum kapitalis dapat menerima kritik dan
secara terus-menerus berbenah diri sehingga dapat survive sampai sekarang.
Dewasa ini, dapat dikatakan, satu-satunya sistem perekonomian yang berkembang
hanyalah kapitalisme, tidak ada alternatif lain. Komunisme tidak populer lagi,
karena ternyata hanya di bawah penguasa yang diktator negara komunis dapat dipertahankan,
dan demokratisasi di bidang politik sekarang menjadi tuntutan universal setiap
bangsa yang beradab. Selain itu, dalam sistem perekonomiannya, negara komunis
terlalu campur tangan dalam urusan ekonomi rakyatnya, tidak terjadi persaingan
sehat karena semuanya, termasuk harga barang dan upah telah diatur oleh negara.
Harga bukan terjadi karena mekanisme pasar, melainkan ketetapan yang telah
diatur oleh pemerintah. Jika ada harga barang, tidak lain hanyalah harga semu.
Konsep sama rata-sama rasa membuat orang tidak ada motivasi untuk mengembangkan
diri dalam urusan perekonomian1.
Prediksi yang satunya lagi adalah yang biasa disebut Self-fulfilling
Prophecy, yaitu prediksi atas dasar data yang salah namun yang
diprediksikan benar-benar terjadi. Hal ini mungkin terjadi karena kesengajaan
atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang pakar dalam bidang tertentu. Contoh
prediksi ini, misalnya dalam kasus perbankkan: seorang ahli perbankkan dengan
data yang tidak benar mengatakan lewat media massa bahwa Bank X, sedang
mengalami persoalan likuiditas atau persoalan menejemen yang memungkinkan bank
tersebut akan bangkrut. Masyarakat, khususnya para nasabah bank tersebut, terkadang tidak kritis dan percaya pada apa
yang dikatakan oleh ahli perbankkn tersebut; padahal sesungguhnya bank tersebut
adalah bank yang sehat. Pernyataan ahli perbankkan tersebut bisa menimbulkan
kepanikan di kalangan para nasabah, sehingga terjadi rush secara
besar-besaran—semua tabungan ditarik sehingga mengakibatkan Bank X tersebut benar-benar
ambruk. Pelajaran yang dapat ditarik dari prediksi jenis ini, bahwa ketika orang telah menjadi pakar dan public
figure harus hati-hati di dalam membuat prediksi, karena apa yang
dikatakannya dapat dianggap sebagai kebenaran oleh publik meskipun sesungguhnya
apa yang dikatakan tidak lain hanyalah kebohongan.
Jika tidak ada keteraturan di dalam alam:
Jika di dalam
alam semesta ini tidak terdapat keteraturan, maka manusia sungguh akan
mengalami kerepotan yang luar biasa. Manusia tidak mungkin menghimpun
pengetahuan, memori tidak akan berfungsi, karena orang senantiasa dihadapkan
kepada segala sesuatu yang serba baru terus-menerus. Bayangkan saja jika kita
harus menghadapi sesuatu yang serba baru dan berubah secara terus-menerus dan
tidak ada sesuatu yang tetap, hal ini akan membuat betapa kacaunya pikiran kita
bahkan kita masing-masing akan kehilangan identitas diri. Kita selalu dituntut
untuk selalu belajar dari awal untuk dapat mengetahui sesuatu yang senantiasa
dalam kondisi berubah. Untung saja di dalam alam semesta ini selain terjadi
perubahan masih ada yang tetap tidak berubah, ika terjadi perubahan, hal itu
hanya berkaitan dengan unsur aksidensial dan bukan substansial ebagaimana yang
dikatakan Aristoteles (384-322 SM), bukan sebagai yang diungkapan Herakleitos (meninggal 480 SM): “Pantha
rei kei uden menei”: tiada sesuatu yang tetap, kecuali perubahan itu
sendiri”. Berkaitan dengan ilmu dan juga pengalaman hidup sehari-hari ungkapan
Aristoteles kiranya lebih tepat, bahwa perubahan memang selalu terjadi namun di
samping ada yang berubah masih ada juga yang tetap tidak mengalami perubahan.
Alam semesta bukanlah kekacaubalauan melainkan keteraturan, meskipun terkadang
terjadi kekacauan di dalam pikiran kita yang karena sebab tertentu tidak mampu
menangkap realitas yang sedemikian teratur.
Pendapat tentang
prinsip ini:
Prinsip ini tidak ada jaminannya, hanya
diasumsikan sebagai benar: kesimpulan ilmu dengan demikian hanya benar secara
hipotetis. Ilmu tidak mampu menangkap kebenaran
- Prinsip ini hanya dapat
dijustifikasi sebagai prinsip prosedural, tanpanya ilmu akan berada dalam
kemacetan, dengan prinsip tersebut ilmu dapat maju.
- Prinsip ini benar per definisi: alam
merupakan kawasan tempat berlakunya keteraturan.
- Prinsip ini benar dalam
dirinya sendiri dan benar secara intuitif.
•Prinsip
keteraturan alam dikemukakan terutama dalam kaitannya dengan persoalan validasi
(justifikasi) kesimpulan induktif, merupakan generalisasi empiris tentang
konstitusi (keadaan lahiriah) alam semesta.
2. Alam
itu bersifat objektif
•Alam sampai tingkatan tertentu harus
objektif: tidak tergantung pada proses pengetahuan manusia.
•Alam harus rasional: dapat menghasilkan kemampuan pikir pada manusia.
Manusia dapat memperoleh pengetahuan yang objektif.
•Alam itu sederhana dan tidak rumit, manusia dapat mencapai kebenaran
ilmiah.
Asumsi ini secara
ontologis bersifat realistis:
•Manusia mempersepsi objek fisik secara langsung
•Keberadaan objek tidak tergantung pada orang yang mempersepsi
•Objek menempati posisi tertentu di dalam ruang
•Ciri khas objek seperti apa adanya sebagaimana dipersepsi orang.
3. Hukum logika itu benar:
•Principium identitatis: A = A, Jika P maka P, PÉP.
•Principium non-contradictionis: Tidak ada sesuatu yang sekaligus A dan
bukan-A, Not both P and not-P, ~(P.~P).
•Principium exclusi tertii: Prinsip tidak ada kemungkinan ketiga.
Sesuatu itu adalah A atau bukan-A. Either A or not-A, Either p or not-P, PV~P.
•Ketiga prinsip tersebut berasal dari Aristoteles, dalam perkembangan
lebih lanjut ada prinsip lain:
•Principium ratio sufficientis (Leibniz): prinsip alasan memadai.
Alasan mengapa sesuatu itu demikian dan tidak yang lain. Sesuatu itu pasti ada
alasannya.
•Principium exemplaris: prinsip pemberian contoh, agar argumen di dalam
ilmu menjadi jelas maka perlu pemberian contoh yang relevan.
4.
Hukum kausalitas itu benar:
•Sebab mendahului
akibat, anteseden mendahului konsekuen. Tidak ada sesuatu yang tanpa sebab,
sebab bukanlah sesuatu yang bersifat spiritual melainkan bersifat material dan
empiris.
•Persoalan di dalam ilmu dapat dipecahkan apabila ilmuwan dapat
menemukan penyebab atas terjadinya peristiwa tertentu.
5. Realitas ultimate adalah realitas
empiris:
•Ilmu empiris
berawal dan berakhir pada fakta pengalaman. Pengalaman sebagai pengadilan
tertinggi. Hanya sesuatu yang dapat dialami yang dapat menjadi objek material
ilmu empiris.
6. Metode ilmiah itu benar:
Ilmu (pengetahuan ilmiah)
diperoleh melalui metode tertentu. Metode ilmiah yang kebenarannya juga tidak
dapat dijustifikasi melalui metode ilmiah. Metode ilmiah dengan langkah dan
prosedurnya dianggap benar begitu saja.
1. Positivisme logis, secara
khusus akan dibahas dalam bab tersendiri.
2
.Logika dan matematika
biasa disebut juga ilmu formal, yang kebenarannya bersifat tautologis, tidak
mengacu pada data empiris.
3. Ilmu empiris, adalah ilmu
apa saja di luar logika dan matematika, yang kebenarannya tergantung pada data
empiris, jadi harus ada kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan.
1 Lihat
Sejarah Ilmu.
1
Untuk melihat lebih jauh lagi kenapa
Komunisme runtuh, dapat dibaca tulisan Henry Hazlitt, Dasar-Dasar Moralitas,
judul asli The Foundation of Morality, diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal: 406-426 (Etika Sosialisme).
Comments
Post a Comment