FILASAFAT DAN PERKEMBANGANNYA



FILSAFAT  ILMU


I.   Latar Belakang Lahirnya Filsafat Ilmu

Kemajuan ilmu (pengetahuan ilmiah) dan teknologi (implementasi lebih lanjut pengetahuan ilmiah) telah menghasilkan kemajuan yang luar biasa di dalam peradaban manusia. Ilmu dan teknologi, dapat dikatakan,  hampir telah menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. 

Belajar Filsafat Ilmu

            Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang filsafat yang secara khusus membahas ilmu,  berkaitan dengan: hakikat, struktur, cara kerja, perkembangan, dan implementasi pengetahuan ilmiah. Jadi, dapat dikatakan, ilmu diperlakukan sebagai subject matter (objek material); sedangkan filsafat sebagai objek formalnya (point of view). 
            Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang berdiri sendiri baru muncul pada awal abad XX, awal kelahiran filsafat ilmu tidak bisa dilepaskan dari gerakan filsafat positivisme logis1. Sekalipun demikian, unsur-unsur atau pokok kajian filsafat ilmu sebelumnya telah dapat ditemukan di dalam pemikiran para filsuf, terutama erat berkaitan dengan pandangan filsuf tentang epistemologi, metodologi, dan metafisika. Kita dapat menemukan pandangan  John Locke, George Berkeley, dan David Hume, misalnya, tentang terbentuknya konsep, asumsi dasar tentang realitas.
Karena filsafat ilmu merupakan salah satu cabang filsafat, agar orang dapat mempelajari dengan baik, maka sebaiknya orang perlu mengetahui juga sedikit-banyak tentang filsafat. Adapun cabang filsafat yang dekat dengan filsafat ilmu antara lain: logika, terutama yang berkaitan dengan prinsip berpikir logis; metafisika, terutama berkaitan dengan asumsi dasar ilmu; epistemologi, terutama berkaitan dengan teori kebenaran ilmiah, pembentukan konsep; etika, terutama berkaitan dengan sikap ilmiah. Tidak kalah pentingnya, untuk dapat mempelajari filsafat ilmu dengan baik, orang sebaiknya juga mau mempelajari sejarah ilmu, karena dengan mengetahui sejarah ilmu kita dapat mengetahui bagaimana ilmu itu berkembang, bagaimana perubahan paradigma terjadi, mau ke mana ilmu akan terus berkembang. Metodologi penting juga untuk dipelajari, karena ilmu itu dibangun di atas metode tertentu, dan dalam kenyataannya, masing-masing ilmu memiliki metode yang khas. 
Belajar filsafat ilmu akan lebih baik jika memiliki bekal ilmu empiris. Karena, dalam kenyataannya, kebanyakan ilmu ( di luar logika dan matematika2) mungkin malah semuanya adalah ilmu empiris3, yang berawal dan berakhir pada fakta pengalaman. Ilmu yang menjadi pokok kajian filsafat ilmu, kebanyakan adalah ilmu empiris. Filsafat ilmu, sampai tingkatan tertentu, melihat bagaimana ilmuwan bekerja mengembangkan ilmu tertentu. Ilmuwan yang terjun langsung dan bergelut dengan ilmu tertentu dapat dipastikan akan lebih baik penggambarannya atas ilmu yang digelutinya dibandingkan dengan orang yang sama sekali awam atas ilmu tersebut. Oleh karena itu, di sini penulis menyarankan bahwa  untuk belajar filsafat ilmu akan lebih baik jika berbekal ilmu empiris. Tidak mudah  memang untuk dapat menguasai salah satu ilmu, sekalipun demikian akan cukup berguna jika kita, paling tidak, mau mengenal ilmu tertentu meskipun hanya sampai tingkatan pengantar, sejarah, dan mengetahui prinsip dasar ilmu tertentu. 
             
            Ilmu dalam Sistem Pengetahuan Manusia

            Ilmu hanyalah merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dimiliki manusia di antara berbagai pengetahuan yang lain. Meskipun ilmu bukan segala-galanya, namun sejauh ini kiranya ilmulah yang merupakan pengetahuan yang paling dapat diandalkan berkaitan dengan realitas empiris. Penjelasan ilmiah, tentang fenomena gerhana bulan, misalnya, yang paling dapat memberikan kepuasan pada rasa ingin tahu manusia dibandingkan dengan penjelasan yang lain. Selain itu, tradisi akademis yang dikembangkan di sekolah maupun perguruan tinggi membuat setiap orang yang pernah belajar menjadi terbiasa dengan ilmu, meskipun sejauh ini sumber pengetahuan yang paling berkembang baru sampai tahapan otoritas. Tradisi akademis membuat orang menjadi semakin rasional, sadar ataupun tidak, orang yang pernah menuntut ilmu tertentu hanya akan puas apabila setiap persoalan yang dihadapi dapat diberikan eksplanasi secara ilmiah: dalam arti didukung data dan fakta yang dapat dilakukan verifikasi secara empiris.
            Apa itu ilmu, secara khusus nanti akan dibahas di dalam bab tersendiri, namun untuk bab ini kiranya perlu dikemukakan jenis pengetahuan yang lain agar menjadi jelas bahwa di luar ilmu itu ada realitas lain dan sekali lagi bahwa ilmu itu bukan segala-galanya. Adapun jenis pengetahuan di luar ilmu antara lain:
1.      Pengetahuan umum sehari-hari (common sense) Pengetahuan jenis ini merupakan pengetahuan yang paling awal yang dimiliki manusia. Ketika seseorang dilahirkan, dia secara tidak terelakkan hidup di dalam satu lingkungan tradisi tertentu yang di dalamnya mencakup: adat-istiadat, agama, bahasa, dan sistem pengetahuan umum yang berlaku di tempat dia dilahirkan. Dengan pengetahuan awal ini memungkinkan dia dapat berkomunikasi dengan warga masyarakat di sekitarnya, dan di situ pula dia menemukan dirinya sebagai aku yang berpribadi, terbentuk cara berpikir dan berperilakunya. Ciri khas pengetahuan common sense adalah tersusun dari berbagai sistem pengetahuan yang terdapat di dalam masyarakat tersebut, antara lain: agama, mitos, ideologi, filsafat, dan bahkan juga ilmu (yang masing-masing akan kita uraikan sebagai jenis pengetahuan yang memang berbeda meskipun secara ketat sulit untuk dipisahkan). Sekalipun berbagai jenis pengetahuan bercampur-baur di dalam pengetahuan common sense, yang jelas bahwa banyak konsep kita terima secara tidak kritis. Berbagai pengertian kita terima taken for granted, kita anggap benar adanya, dan menjadi dasar komunikasi dengan orang lain;  padahal sesungguhnya pengertian tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan  secara rasional. Misalnya: kita percaya bahwa setiap hari matahari itu terbit dari timur dan tenggelam di barat. Arah mata angin sangat relatif dan tidak pasti, suatu tempat dapat kita katakan timur atau barat, bahkan utara atau selatan tergantung pada di mana posisi kita. Kita juga sering berkata bahwa, malam ini rembulan bersinar terang; padahal kita tahu bahwa rembulan sama sekali tidak memiliki sinar, melainkan hanya memantulkan sinar matahari. Unsur kepercayaan sangat dominan di dalam pengetahuan sehari-hari, kita percaya bahwa orang lain sejauh menggunakan bahasa yang sama, dia dapat mengerti apa yang kita maksudkan. Lebih dari itu, kita percaya bahwa orang lain itu “baik”, apa yang mereka katakan sebagai benar dan dapat dipercaya. Tanpa ada rasa saling percaya di dalam kehidupan sehari-hari, hidup manusia akan menjadi sangat sulit.     
2.      Mitos (mitologi). Mitologi biasa digunakan untuk memberikan eksplanasi ketika orang belum menemukan penjelasan rasional. Sehingga pengetahuan mitologis, dapat dikatakan, irasional, orang yang menerima penjelasan dituntut untuk percaya begitu saja. Misalnya, di dalam masyarakat Jawa era tahun 70-an, terutama di pedesaan orang tua-tua masih percaya bahwa ketika terjadi gerhana bulan mereka harus memukul kentongan secara beramai-ramai agar bulan keluar lagi. Penjelasan mitologisnya adalah bahwa, gerhana bulan terjadi karena bulan dimakan raksasa (Betara Kala). Kentongan harus dipukul agar ketika mendengar suara kentongan yang bertalu-talu, sang raksasa akan pening kepalanya dan memuntahkan rembulan. Begitu percayanya orang pada waktu itu sehingga ketika terjadi gerhana bulan dapat dipastikan akan terdengar bunyi kentongan bertalu-talu hingga bulan muncul kembali. Mitologi dalam arti legenda juga dapat ditemukan di dalam kehidupan masyarakat Jawa, misalnya mitos tentang Ratu Kidul, penguasa laut selatan. Mitos bahwa raja-raja di Jawa itu keturunan para nabi dan para dewa dan berbagai mitos lain yang bersifat lokal yang hanya populer di daerah tertentu. Sifat khas pengetahuan mitologis adalah tidak didukung data empiris, sehingga sulit dibuktikan secara objektif. Pengetahuan semacam ini hanya mengandalkan pada kepercayaan bagi orang yang menganggapnya sebagai benar.
3.      Agama. Sejak awal peradaban manusia, agama mewarnai hidup manusia. Agama sebagai salah satu sistem pengetahuan, lebih bersifat normatif, yaitu memberikan arah bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup dengan baik. Terlalu banyak agama di dunia ini, namun agama-agama besar yang ada di dunia sekarang ini dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu agama semitik yang terdiri atas: agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Agama besar di luar itu adalah: Hindu, Buddha, Konfusinisme. Di luar itu masih banyak lagi kepercayaan yang sinkretis, misalnya suku Druz di Lebanon yang mensinkretisasikan Islam dan Kristen, suku Seikh di India yang mensinkretisasikan Islam dan Hindu; dan agama yang masih primitif: animisme, dinamisme, politeisme, dan sejenisnya yang kesemuanya juga merupakan sistem pengetahuan. Agama sebagai sistem pengetahuan diyakini kebenarannya oleh para pemeluknya. Iman, kepercayaan sebagai dasar fundamental bagi seseorang untuk menganut agama tertentu. Para pemikir telah berusaha memberikan eksplanasi rasional  berkaitan dengan masalah keberagamaan: Tuhan, keimanan, dan misteri lainnya. Yang sangat menarik adalah bahwa, argumen yang positif maupun yang negatif atas religiusitas manusia sama-sama kuatnya dan juga sama-sama lemahnya secara rasional. Akan tetapi, sampai sekarang masih jauh lebih banyak orang yang taat beragama daripada yang telah meninggalkan agama. Pemeluk agama yang taat dengan keimanannya tidak tergoyahkan oleh argumen apa pun yang mencoba menafikan agama.
4.      Ideologi. Ideologi merupakan sistem ide yang teratur yang mengarahkan perilaku manusia. Secara individual maupun secara bersama-sama orang dapat dikatakan memiliki ideologi tertentu yang mengarahkan perilakunya. Perilaku manusia bukan tanpa dasar, tujuan dan makna. Ada prinsip tertentu yang diyakini kebenarannya dan akan dipertahankan apabila ada penyerangan dari pihak lain terhadap prinsip tersebut. Secara bersama-sama manusia juga berperilaku diarahkan oleh ideologi tertentu.     
5.      Seni.  Sejak munculnya peradaban, manusia juga telah mengembangkan kesenian. Manusia tidak puas hanya dapat sekedar survive dan meneruskan generasinya, jika hewan dan makhluk hidup yang lebih rendah waktunya habis untuk mencari makan, bermain-main, dan mencari pasangan hidup. Tidak demikian halnya dengan manusia, meskipun manusia juga harus berusaha untuk  bertahan hidup dan berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh hewan,



 


ESENSI ILMU


            Genealogi Ilmu

            “Ilmu berasal dari masa lampau yang jauh, jauh sebelum sejarah manusia dicatat. Induknya adalah ilmu gaib (magic) kesukuan. Induk yang sama juga melahirkan agama, dan bahkan mungkin sebelumnya juga telah melahirkan seni. Jadi, ilmu, agama, dan seni itu merupakan saudara sekandung. Metodenya berbeda, namun tujuannya adalah sama: untuk memahami dan menafsirkan alam semesta dan kerjanya, dari sini kemudian untuk meningkatkan kesejahteraan material dan spiritual manusia bilamana mungkin” (Weisz, dalam Lewis: 1). Kutipan tersebut semakin jelas menunjukkan kepada kita bahwa ilmu telah memiliki sejarah yang sangat panjang di dalam peradaban manusia1. Dalam arti tertentu, ilmu juga merupakan sebuah tradisi, yang diwariskan secara turun-menurun dari generasi ke generasi. Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan ilmu mengalami pasang-surut, tergantung pada minat dan perhatian manusia dari zaman ke zaman.
Ketika manusia kagum terhadap alam dan mencurahkan perhatian untuk mengkaji alam, maka yang berkembang adalah ilmu alam (zaman filsuf awal Yunani kuno). Tatkala manusia mulai sadar dan mengenal diri sendiri, ilmu memusatkan perhatian pada diri manusia sendiri (zaman kaum sofis, Socrates, Plato, dan memuncak pada Aristoteles) membuat pengertian tentang manusia menjadi sangat maju, terutama yang berkaitan dengan persoalan moral. Zaman abad pertengahan, ilmu sangat diwarnai dengan nuansa keagamaan, sehingga pengetahuan tentang Tuhan yang berkembang. Zaman Renaissance, ketika manusia mengalami krisis kepercayaan terhadap pikiran yang bersifat teologis dan dogmatik, manusia mulai mengandalkan kemampuannya untuk berpikir secara otonom dan mengalihkan perhatian pada otoritas dan kemampuan yang dimilikinya; saat ini yang menonjol adalah pembahasan tentang sejauh mana manusia mampu memiliki dan mencapai pengetahuan, pemikiran tentang metode untuk mendapatkan pengetahuan sangat berkembang. Zaman modern, menurut tradiri pemikiran barat,  berlangsung sejak abad XVI ketika nama para pemikir besar: Francis Bacon, Rene Descartes, Isaac Newton, Copernicus, Galileo Galiei, dan yang hidup sezaman dengan mereka berusaha secara serius mencari metode ilmiah dan bereksperimen dalam bidang empiris, ilmu berkembang dengan sangat pesat. Berangsur-angsur ilmu memisahkan diri dari filsafat, dipelopori oleh ilmu alam; kemajuan ilmu semakin tampak lagi ketika pada abad XVIII dan XIX mulai bermunculan ilmus sosial-kemanusiaan, yang dipelopori misalnya oleh William Wundt, dalam bidang pskologi; Adam Smith dalam ilmu ekonomi; Auguste Comte, dalam bidang sosiologi; dan Wilhelm Dilthey dalm ilmu sejarah, ilmu dalam arti yang kita kenal sekarang terus berkembang dan bahkan berbagai cabang ilmu baru terus bermunculan (Lihat Sejarah Ilmu).  

            Ilmu dan Fakta

            Ilmu adalah fakta; sebagaimana rumah yang terbuat dari batu, demikian juga ilmu dibangun dari fakta; namun seonggok batu bukanlah rumah dan sekumpulan fakta tidak secara niscaya merupakan ilmu (Henry Poincare)2. Ilmu (empiris) berawal dan berakhir dari fakta empiris. Ilmuwan berangkat dari fakta empiris, dengan menggunakan metode induktif berusaha mencari generalisasi, teori dan hukum yang kemudian secara deduktif digunakan untuk memberikan eksplanasi atas fakta empiris yang sejenis. Dengan demikian, empiri menjadi sumber pengetahuan yang paling utama bagi pengetahuan ilmiah, bahkan di luar realitas empiris ilmu tidak mampu untuk menjangkaunya. Tuntutan akan pengetahuan objektif yang dapat dibuktikan oleh banyak orang hanya dapat disediakan oleh fakta empiris. Selain itu, pengetahuan ilmiah yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa, secara tidak terelakkan harus juga mendapat dukungan fakta empiris. Di dalam ilmu, pernyataan ilmiah harus ada korespondensi dengan fakta empiris. Sebisa mungkin pengetahuan ilmiah harus menjauhkan diri dari pernyataan yang bersifat spekulatif sebagaimana pernyataan yang banyak digunakan di dalam filsafat.
            Empiri atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan ilmiah harus dipahami dalam arti yang luas. Empiri bukan hanya dalam arti Humean, pengalaman langsung, baik yang ke luar yang dicerap melalui panca indra, maupun yang ke dalam yang didapat lewat introspeksi. Menurut Hume, orang buta tidak memiliki konsep tentang warna, orang tuli tidak memiliki konsep tentang suara. Empiri sebagai sumber pengetahuan ilmiah mencakup lebih dari sekedar pengalaman langsung, karena dalam kenyataannya banyak fakta yang tidak dapat dialami secara langsung oleh manusia namun juga merupakan sumber pengetahuan bagi ilmu tertentu, misalnya: atom yang bagiannya terdiri atas neutron, proton, quark tidak dapat secara langsung dilihat oleh mata manusia; demikian juga sinar ultraviolet tidak dapat dilihat oleh mata manusia namun keberadaannya tidak disangsikan. Sinar ultraviolet dan terutama atom dapat dikatakan hanyalah merupakan entitas teoritis namun implementasinya di dalam teknologi sangatlah luar biasa. Ilmuwan dan teknolog dengan mendasarkan diri pada teori atom dapat menghasilkan berbagai macam temuan ilmiah dan teknologis yang dapat digunakan untuk kepentingan umat manusia, baik dalam arti positif maupun negatif. Implementasi teori atom dapat menghasilkan bom nuklir yang dapat digunakan sebagai senjata pemusnah massal dan juga secara positif dapat digunakan untuk menghasilkan alat kedokteran yang dapat memperpanjang harapan hidup manusia.

            Ilmu dan Kebenaran
            a. Hakikat kebenaran
           
            Kebenaran (truth) merupakan hal yang sangat penting di dalam ilmu, bahkan dapat diketakan sebagai idola tertinggi di dalam pengetahuan ilmiah, karena ilmu tidak lain merupakan salah satu sarana yang dimiliki oleh manusia untuk mendekati kebenaran/kenyataan. Kebenaran ilmiah berbeda dengan kebenaran yang tidak ilmiah, ilmu sebagai salah satu bentuk pengetahuan merupakan pengetahuan yang paling canggihdibandinkan dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ilmu memiliki tata cara yang khas di dalam mencapai kebenaran. Sekali pun demikian,  kata “kebenaran” bukan merupakan hal yang sederhana dan sering menimbulkan perdebatan.
            Kebenaran dapat bersifat deskriptif, instrumental, substantif, maupun eksistensial (Hunnex, 1986: 7). Kebenaran deskriptif berlaku untuk pernyataan, proposisi, dan juga kepercayaan yang bersifat niscaya keberadaannya atau hanya yang bersifat kemungkinan belaka. Kebenaran deskriptif yang bersifat niscaya, misalnya: “Jika a mengimplikasikan b, dan yang terjadi adalah a, maka b juga akan terjadi”. “Segitiga adalah bangun yang bersegi tiga”. Kebenaran jenis ini bersifat analitis. Ada pun kebenaran deskriptif yang berupa kemungkinan, misalnya: “Bumi itu bulat”. Kebenaran ini bersifat empiris.
            Kebenaran dalam arti instrumental, yaitu kebenaran yang berlaku bagi kepercayaan yang menuntun pikiran atau tindakan, misalnya: orang bertindak atas dasar kepercayaan bahwa setrom listrik itu dapat mematikan. Hal ini akan membantu orang untuk lebih berhati-hati agar dapat terhindar dari setrom listrik. 
            Kebenaran dalam arti substantif atau ontologis, adalah kebenaran yang mengacu kepada sesuatu yang real, seperti misalnya: “Tuhan itu maha pengasih dan penyayang.” Sedangkan kebenaran eksistensial adalah kebenaran yang mengacu kepada cara hidup atau komitmen ultimate manusia, misalnya: Orang hidup lebih dari sekedar mencari kekayaan.
            Kebenaran deskriptif berfungsi sebagai kata sifat; kebenaran instrumental berfungsi sebagai kata keterangan; kebenaran substantif atau ontologis berfungsi sebagai kata benda; dan kebenaran eksistensial berfungsi sebagai kata kerja.

            b. Kriteria Kebenaran

            Filsafat banyak mengenal kriteria kebenaran, baik yang tradisional maupun yang mutakhir; penganut kriteria yang satu jarang sependapat dengan penganut kriteria yang lain, masing-masing dengan argumentasinya yakin akan keandalan kriteria yang dimilikinya.

           







FILSAFAT  POSITIVISME LOGIS


            Pengantar

            Memasuki dunia filsafat, ibaratnya, menginjakkan kaki ke rimba raya. Di situ kita dihadapkan dengan berbagai realitas: ada batang pohon yang berdiri sendiri, ada sekumpulan pohon yang membentuk sebuah rumpun; ada hewan besar yang berjuang untuk hidup sendiri, ada pula hewan kecil yang hidup dalam kawanan. 
            Gerakan filsafat yang sangat dekat dan sangat berminat untuk mengembangkan filsafat ilmu adalah filsafat positivisme logis. Bahkan, sampai tingkatan tertentu, dapat dikatakan bahwa, filsafat ilmu menjadi cabang filsafat secara definitif juga hasil upaya para filsuf yang tergabung di dalam gerakan tersebut.

            Sejarah Positivisme Logis
            Positivisme logis, yang juga sering disebut empirisisme konsisten, empirisisme ilmiah, neopositivisme logis merupakan gerakan yang pertama kali muncul di Jerman dan Austria. Gerakan ini dimotori oleh para filsuf yang pada umumnya memiliki latar belakang ilmu khusus: matematika, fisika, biologi, kedokteran, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. 

            Faktor yang mendorong lahirnya positivisme logis:

1. Ketidakpuasan terhadap pemikiran filsafat yang ada selama ini, bagi kaum positivisme logis—pemikiran yang dihasilkan oleh para filsuf tidak lain hanyalah merupakan spekulasi liar yang tanpa dukungan evidensi, filsafat melulu sebagai “nonsense”, berisi berbagai pernyataan yang tidak bermakna. 

2. David Hume: pernyataan yang memadai adalah:

a.       Tautologis:  proposisi tentang hubungan antara ide-ide, di dalam matematika dan logika, sifatnya a priori dan niscaya.
b.      Ilmiah: matters of fact (realitas faktual, objektif) didukung oleh data empiris
Filsafat empiris David Hume, jauh-jauh hari telah mengantisipasi berbagai pandangan yang pada abad XX dikembangkan oleh positivisme logis. Hume, sebagai seorang empiris yang konsisten berpendapat bahwa, persoalan pokok teori pengetahuan adalah berkaitan dengan makna dan kebenaran, yang harus didekati dengan pendekatan empiris.
Pandangan epistemologis Hume bahwa, sumber pengetahuan yang dapat diandalkan adalah indera (panca indera) dan introspeksi. Indera, untuk memperoleh pengetahuan yang berasal dari luar diri manusia dan introspeksi untuk mendapatkan pengetahuan tentang suasana batin manusia sendiri. Dengan menggunakan kedua sumber pengetahuan itu, manusia dapat memperoleh:
Impresi: objek langsung kesadaran yang dialami ketika orang melakukan persepsi ataupun introspeksi.
Ide: objek yang disadari dengan seluruh aktivitas mental yang lain daripada persepsi dan introspeksi. Ide itu muncul ketika orang berefleksi, mengingat, dan berimajinasi yang terdiri atas dua macam: ide sederhana dan ide yang rumit. Ide sederhana merupakan copy impresi yang tetap di dalam pikiran sesudah berlangsungnya impresi, misalnya: ide tentang warna merah, kursi, dan sebagainya. Ide yang rumit merupakan hasil imajinasi, merupakan kombinasi dari berbagai ide sederhana. Manusia dapat membentuk ide apa pun di dalam pikirannya, baik yang menggambarkan realitas yang ada maupun yang tidak ada di dunia: pikiran manusia dapat memiliki ide tentang hantu, misalnya, sebagai sosok yang seram yang berbadan hewan dan berkepala manusia. Hal ini dapat terjadi karena orang pernah melihat manusia dan hewan dengan variasi penampilannya. Filsafat empiris David dapat diungkapkan dengan proposisi yang sangat terkenal: “No ideas without impressions” artinya bahwa manusia tidak akan memiliki ide apa pun jika sebelumnya tidak didahului oleh impresi. Secara epistemologis: orang terlahir buta tidak akan memiliki konsep tentang warna, orang yang terlahir tuli tidak akan memiliki konsep tentang suara. 

            3. Positivisme Auguste Comte

            Pandangan filsafat Auguste Comte, sampai tingkatan tertentu, juga berpengaruh terhadap pandangan filsafat kaum positivis logis. Comte, tidak diragukan, cukup besar pula sumbangannya terhadap perkembangan ilmu, khususnya ilmu sosial. Ide yang dikemukakan Comte dalam banyak hal di kemudian hari diteguhkan kembali oleh kaum positivis logis.
            Bagi Comte, yang positif adalah yang empiris, yang dapat diverifikasi. Tugas filsafat adalah untuk menemukan prinsip umum yang berlaku bagi semua ilmu. Metode yang benar dan yang dapat diandalkan adalah metode ilmiah. Ilmu fisis-matematis sebagai model untuk diberlakukan bagi ilmu tentang perilaku manusia (ilmu sosial-kemanusiaan). Comte, seperti kaum positivisme logis, juga menolak metafisika.

            4. Kemajuan pesat ilmu

            Abad XX merupakan abad yang banyak memberikan sumbangan besar bagi kemajuan ilmu. Tradisi berpikir ilmiah sudah sangat matang, banyak penemuan ilmiah dihasilkan, ilmu baru terus-menerus bermunculan. Pemahaman manusia atas hidup dan dunianya harus sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai ilmu. Ilmu menyediakan bahasa yang digunakan secara ketat dan pasti, yang memberikan pengetahuan yang paling dapat diandalkan dibanding dengan yang dapat diberikan oleh jenis pengetahuan yang lain. Pandangan dunia yang benar adalah yang bersifat ilmiah.

6.      Tractatus Logico Philosophicus, karya Wittgenstein

            Buku ini cukup besar pengaruhnya terhadap pemikiran kaum positivisme logis. Karya ini mengajarkan bahwa tugas filsafat adalah penjernihan makna, analisis bahasa. Filsafat harus didaarkan atas data empiris, seperti halnya ilmu empiris yang lain, selain itu adalah “nonsense”.

Pandangan Umum Positivisme Logis
·         Mendekati persoalan makna melalui analisis logis bahasa
·         Term empiris harus mengacu kepada fakta empiris
·         Makna ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas objektif
·         Penekanan pada struktur logis dan validitas empiris
·         Kebenaran bersifat korespondensi, adanya kesesuaian antara pernyaan dengan kenyataan
·         Penolakan terhadap segala macam metafisika, baik yang deduktif, dialektis, maupun yang transendental

Persoalan Mendasar khas Positivisme Logis

1. Prinsip verifikasi: makna proposisi terletak pada prinsip verifikasi: kemungkinannya untuk dicek dengan fakta-pengalaman. Proposisi (pernyataan yang dapat bernilai benar atau salah) terdiri atas: analitik: makna predikat terkandung di dalam subjek, misalnya: segitiga adalah bangun yang bersegi tiga; sintetik: predikat menambah keterangan pada subjek, misalnya: manusia adalah hewan yang berpikir, ada acuan kepada data empiris.
2. Kesatuan ilmu: realitas (dunia ) ini satu sehingga dapat didekati oleh satu ilmu saja. Ilmu yang kurang fundamental direduksi dengan ilmu yang lebih fundamental, akhirnya ilmu empiris dapat disreduksi dengan ilmu fisika, karena fisika sebagai ilmu yang paling fundamental.
3. Bahasa dapat diungkapkan dengan acuan kepada objek fisik, yang bersifat empiris dan yang dapat diuukur.

Filsafat menurut Positivisme Logis
·         Filsafat merupakan analisis logis konsep dan kalimat di dalam ilmu, termasuk juga analisis metode ilmiah
·         Bahasa yang paling sempurna adalah bahasa ilmu, karena ilmu menggunakan bahasa yang ketat dan pasti, didasarkan atas evidensi empiris
·         Tugas filsafat adalah untuk mereformasi bahasa, yaitu untuk mencari bahasa yang ideal, bahasa yang ketat dan memiliki makna yang pasti
·         Dunia adalah dunia yang empiris, di luar yang empiris harus ditolak
·         Yang bermakna adalah yang dapat diukur


SEJARAH ILMU

            Ilmu yang kita kenal sekarang telah mengalami perjalanan sejarah yang amat panjang. Pada awalnya berbagai temuan ilmiah jika dilihat dari pengetahuan yang kita miliki sekarang tampak begitu sederhana dan bahkan terkadang kelihatan naif. Namun satu hal yang harus kita apresiasi bahwa, setiap temuan baru betapa pun sederhananya telah memberikan sumbangan kepada kemajuan peradaban. Peradaban kita sekarang yang banyak diwarnai dengan penerapan ilmu dan teknologi, jika kita lacak pada awalnya berangkat dari berbagai temuan yang amat sederhana. Secara epistemologis, pengenalan manusia dalam rangka mendapatkan pengetahuan memang berawal dari yang sederhana menuju kepada yang rumit dan canggih. Sejarah ilmu akan menunjukkan dengan jelas bahwa kian hari pengetahuan ilmiah semakin hari semakin maju dan berkembang.
 Penyajian cerita sejarah akan lebih mudah dipahami jika disampaikan secara periodis, meskipun periode yang satu saling berhubungan dengan periode yang lain dan tidak dapat dipisahkan secara ketat. Untuk tujuan ini, periodisasi atas dasar abad (zaman) akan digunakan di dalam tulisan ini.

Jaman Kuno

            Jika kita lihat jauh ke belakang, beih (cikal-bakal) ilmu itu,  dapat dikatakan, sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia. Titik awal pertumbuhan ilmu bermula pada jaman Babilonia dan Mesir kuno (± 3000 SM), mulai zaman ini berbagai temyan besar bermunculan. Temuan baru dihasilkan pada mulanya demi kebutuhan praktis manusia dan terutama dalam rangka bertahan hidup. Manusia zaman kuno telah menguasai berbagai macam teknik dan ketrampilan untuk membuat  peralatan, khususnya senjata untuk perang dan berbagai alat pemujaan.
            Berbagai temuan penting di dalam peradaban kuno, antara lain adalah:
·         Pertanian menetap, kurang lebih pada milenium ke-6 Sebelum Masehi.
·         Kerajinan, peternakan, perahu, barang tembikar, kurang lebih milenium ke-4 Sebelum Masehi.
·         Pemakaian perunggu kurang lebih pada milenium ke-3 Sebelum Masehi
·         Penemuan huruf kurang lebih pada milenium ke-3 Sebelum Masehi, huruf kuno berupa ideogram yang dihasilkan oleh para pendeta Sumeria
·         Penemuan kalender kurang lebih pada tahun 2700 Sebelum Masehi

Ilmu paling awal: matematika, astronomi, dan ilmu pengobatan. Matematika dipergunakan untuk hitung-menghitung: pecahan, perkalian, penambahan, dan pengurangan. Astronomi dipergunakan untuk memprediksi datangnya musim, terjadinya banjir, pembagian: tahun, bulan, hari, dan jam. Ilmu pengobatan, terdiri atas ramuan dan mantera untuk penyembuhan orang yang menderita sakit; dan ketika itu takhayul dan mitos masih sangat dominan sehingga pengobatan berarti pengusiran roh jahat yang mengganggu manusia.
Ada hal yang menarik yang layak kita catat bahwa awal peradaban ilmiah di barat dan di timur tumbuh sejaman: peradaban Sungai Nil di Mesir, peradaban Kepulauan Yunani, Tigris dan Euphrat di Irak, Indus di India, dan Hoangho di Cina. Peradaban awal, menarik juga untuk dicatat, bahwa peradaban besar berawal dari daerah yang memiliki empat musim. Hal ini mungkin terjadi karena adanya musim dingin yang menuntut manusia untuk berusaha ekstra keras agar tetap survive sehingga memaksa pikirannya untuk menemukan jalan pemecahan persoalan yang harus dihadapi.



            1. Filsafat Alam Yunani Pra Sokrates
            Kendati peradaban awal berkembang di dataran agraris yang subur, secara progresif dan sistematis ilmu dalam arti yang mendekati pengertian kita sekarang  berkembang di negara kepulauan Yunani, yang hidup dari perdagangan dengan mengarungi lautan. Pelaut dibandingkan dengan petani lebih memiliki jiwa petualangan, lebih memiliki perasaan keruangan dan perasaan geometri yang sangat diperlukan untuk melakukan pengembaraan. Nama-nama pemikir (filsuf, ilmuwan) awal yang memberikan sumbangan pemikiran bagi lahirnya ilmu, antara lain:
·         Thales dari Miletus (625-545) dianggap sebagai cikal-bakal dan titik tolak perkembangan ilmu dengan temuannya: peramalan tepat tentang terjadinya gerhana yang terjadi di zamannya dan mengemukakan teori pertama tentang terjadinya alam semesta. Menurut dia, dunia dan kehidupan ini bermula dari air. Unsur pertama dunia adalah materi dan bukan kekuatan supranatural ataupun daya ilahi sehingga sejak awalnya ilmu yang berkembang hingga di zaman sekarang adalah ilmu yang bersifat materialistik. Segala unsur yang bersifat supanatural, spiritual, rohani termasuk Tuhan sudah sejak lama tidak diberi tempat di dalam ilmu yang bersifat materialistis dan empiristis. Thales kurang lebih hidup sezaman dengan peradaban yang memisahkan para dewa dari alam: Yahudi, Amos, Persia, Zoroaster, Indian, dan Budha.
·         Anaximenes (550-475 SM) berpendapat bahwa substansi pertama yang membentuk alam semesta adalah udara. Pada zaat dia hidup, orang sudah mulai percaya pada adanya “sebab” (atia) yang kelak akan dikembangkan lebih lanjut oleh Aristoteles.
·         Heraclitus dari Ephesus (550-475  SM), menurut dia, dunia itu berasal dari api. Prinsip perubahan: segala sesuatu itu serba berubah, tidak ada yang tinggal tetap: ibaratnya orang tidak dapat memasuki untuk sungai yang sama yang mengalir airnya untuk kedua kalinya, karena sungai tersebut telah menjadi sungai yang berbeda dengan air yang serba baru dan terus mengalir. Segala sesuatu senantia mengalir: phanhta re kei uden menei (Pantha re Kei Uden Menei).
·         Phytagoras ( 582-500 SM), bagi dia, bilangan itu merupakan model konseptual alam semesta, kuantitas dan bentuk menentukan wujud seluruh objek alam. Bilangan adalah wujud dan citra objek alam. Dunia itu terbagi menjadi 3 (tiga) bagian: Uranos; Cosmos, Olympos. Uranos: bumi dan ruang sublunar; Cosmos: benda-benda langit yang dapat bergerak yang diikat oleh bintang-bintang tetap; dan Olympos: merupakan tempat tinggal para dewa. Semua benda bergerak secara melingkar dan seragam. Menurut Phytagoras, bumi dan bulan bergerak mengitari api sentral (mengitari matahari). Pada zaman Phytagoras orang mulai berpikir secara abstrak.
·         Alcmaeon (± 500 SM), seorang biolog dan ahli anatomi. Dia mulai mengetahui bahwa mata itu berhubungan dengan otak, telinga berhubungan dengan mulut. Menurut dia, “manusia dan alam semest sebagai satu keseluruhan itu dibangun dengan rencana yang sama, manusia adalah mikrokosmos yang merupakan copy makrokosmos dalam keseluruhannya.”
·         Empedocles dari Agrigentum (500-430 SM), menurut dia segala sesuatu itu tersusun dari 4 unsur yang proporsinya berbeda secara kuantitatif, yaitu terdiri atas: air, udara, bumi, dan api. Menurut dia kehidupan berkembang secara evolutif.
·         Leucippus (±400 SM) dan Democritus dari Abdera (±420 SM), menurut kedua pemikir ini segala sesuatu di alam semesta ini tersusun dari atom-atom, yang secara fisik tidak dapat dibagi-bagi. Atom itu jumlah tidak terbatas dan secara abadi bergerak dalam ruang kosong. Atom itu ada secara kekal, tidak diciptakan dan tidak dapat dihancurkan. Atom berbeda dalam ukuran, bentuk, dan beratnya. Atom bergerak melingkar, atom yang lebih besar terdorong ke tengah dan membentuk bumi. Kehidupan muncul dari lumpur abadi. Manusia sebagai mikrokosmos alam semesta. Hidup dan jiwa itu dekat dengan api,.

Tampak jelas bahwa pengetahuan ilmiah (ilmu) awal masih sangat diwarnai oleh spekulasi filosofis, karena memang pada awalnya ilmu dan filsafat muncul secara bersama-sama dan tidak terpisahkan. Sangat jelas pula bahwa sekalipun para pemikir awal ini menyebut nama dewa tetapi mereka sudah berani berpikir bahwa alam semesta ini bersifat material: kekal sejak semula, berarti tidak terciptakan. Jadi penyebab prtama bukanlah sesuatu yang bersifat spiritual, melainkan materi itu sendiri. Eksplanasi teologis dan mitis tidak lagi menarik untuk dikemukakan di dalam memberikan penjelasan terhadap peristiwa alam semesta. Titik pemikiran awal ini yang kelak akan terus berkembang menuju pemikiran modern yang secara jelas tidak lagi memberi tempat kepada Tuhan dalam urusan eksplanasi fenomena material-empiris.

II. PLATO DAN ARISTOTELES
            Socrates telah mengubah orientasi berpikir manusia, pada zaman sebelum Socrates orang banyak memusatkan perhatian pada masalah prinsip alam semesta, sehingga pemikiran sangat bersifat kosmologis. Mulai zaman Sokrates dan kaum Sofis orang mulai tertari untuk berpikir tentang diri manusia sendiri, khususnya yang berkaitan dengan masalah moralitas. Socrates diteruskan oleh  Plato dan Aristoteles yang telah membawa babak baru pemikiran tentang masalah sosial-kemanusiaan. Plato dan Aristotels menduduki posisi yang istimewa dan menempati puncak pemikiran Yunani klasik, sesudah Plato dan Aristoteles di Yunani relatif tidak muncul lagi tokoh pemikir yang sekaliber mereka. Sering dikatakan bahwa pada Plato dan Aristoteles ilmu sosial-kemanusiaan mengalami kemajuan yang spektakuler melampaui kemajuan yang dicapai ilmu alam.
·         Plato (427-347 SM), dia adalah pendiri Academia, lembaga pendidikan yang paling tua yang tradisinya kita warisi dan kita teruskan sampai sekarang. Plato lah orang yang pertama-tama melembagakan pendidikan secara teratur dan terstruktur, akibat jasa dia sekarang kita dapat mengembangkan tradisi akademis secara formal dan modern.
Pandangan Plato berkaitan dengan persoalan ilmu sosial-kemanusiaan yang perlu kita ketahui adalah teorinya tentang negara. Bagi Plato, tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai eudamonia (eudamonia) artinya hidup yang baik. Pemerintah harus mengutamakan kepentingan dan keselamatan orang yang diperintah, pemerintah tidak boleh mengutamakan kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, penguasa harus mengabdi dan melayani  rakyat dan bukan yang sebaliknya: penguasa minta dilayani rakyat.
Menurut Plato: di dalam negara ideal terdapat tiga (3) golongan masyarakat, antara yang satu dan yang lain saling tergantung, yang akan menciptakan sebuah sitem pemerintahan yang kuat dan sejahtera jika masing-masing golongan dapat melaksanakan keutamaan masing-masing. Tiga golongan tersebut adalah:
1.      Golongan tertinggi, para penjaga yang terdiri atas para aparatur pemerintah, yang digolongkan sebagai kaum penjaga. Mereka yang termasuk golongan ini adalah orang bijak (para filsuf), mereka adalah orang yang mengetahui apa yang baik bagi semua orang, karena mereka memiliki kebijaksanaan.
2.      Golongan pembantu, yang terdiri atas para prajurit yang bertugas untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga negara. Para prajurit ini merupakan alat negara yang menjamin tegaknya hukum dan keamanan, yang menjamin agar rakyat taat kepada para penjaga. Prajurit memiliki keutamaan, yaitu yang berupa keberanian.
3.      Golongan terendah, rakyat biasa, yang terdiri atas: para petani, tukang, pedagang, dan orang kebanyakan dengan profesinya masing-masing. Negara menggantungkan kehidapan perekonomian pada rakyat biasa ini. Rakyat biasalah yang mengendalikan dan menjalankan roda perekonomian negara. Keutamaan yang dimiliki rakyat biasa adalah: pengendalian diri.
Bagi Plato, baik-buruknya pemerintahan ditentukan oleh ada tidaknya konstitusi. Pemerintahan monarki menjadi yang terbaik dan demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang terjelek bila pemerintah diatur dengan konstitusi. Sedangkan demokrasi merupakan pemerintahan yang terbaik dan monarki menjadi sistem pemerintahan yang terjelak jika negara tidak memiliki konstitusi.

·         Aristoteles (384-322 SM), dia adalah seorang ahli dalam berbagai cabang pengetahuan dan merupakan nenek moyang dari berbagai macam ‘ilmu modern’, baik ilmu formal maupun ilmu sosial-kemanusiaan.

Temuan monumental Aristoteles, antara lain:
1. Prinsip berpikir logis: prinsip identitas, prinsip nonkontradiksi, dan prinsip tidak ada kemungkinan ketiga. Formulasi prinsip berpikir ini masih berlaku sampai sekarang dan mungkin juga akan tetap berlaku jauh ke depan. Sejauh manusia berusaha untuk berpikir logis tidak dapat melanggar prinsip bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri, sesuatu tidak  dapat menjadi dirinya sendiri sekaligus bukan dirinya sendiri, sesuatu itu dirinya sendiri atau bukan dirinya sendiri dan tidak ada kemungkinan ketiga. Karena pernyataan pengetahuan yang melanggar prinsip tersebut tidak akan terpahami secara rasional sehingga menjadi tidak bermakna.
2. Sepuluh kategori yang ditemukan oleh Aristoteles selain memberikan pemahaman terhadap realitas, bahwa esensi itu adalah sesuatu yang membuat sesuatu menjadi sesuatu, yang menurut bahasa Aristoteles adalak substansi sebagai kategori utama realitas. Sesuatu dapat mewujud menjadi sesuatu yang utuh ketika dilengkapi dengan sembilan aksidensi. Kategori Aristoteles ini dalam perkembangan yang selanjutnya dalam dunia kebahasaan telah membuat kita mengenal sepuluh jenis kata, dan kata yang setara dengan subtansi adalah kata benda. Sedangkan sembilan aksidensi setara dengan sembilan jenis kata di luar kata benda.
3. Hukum kausalitas: material, formal, efisien, dan final. Bagi Aristoteles sesuatu itu terjadi bukan tanpa sebab, tidak ada sesuatu yang ahistoris. Setiap realitas dapat dilacak penyebabnya: bahan, bentuk, proses, dan tujuannya. Pendekatan dengan mencari sebab merupakan usaha yang sangat penting di dalam pemecahan masalah, baik dan kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia ilmiah. Terjadfinya persoalan baru dapat dipecahkan apabila kita mengetahui penyebab dari timbulnya persoalan tersebut, sehingga di dalam eksplanasi ilmiah eksplanasi kausal merupakan eksplanasi yang sangat penting di dalam pengembangan ilmu.
4. Materi dan bentuk hyle (hyle atau materi) dan morfe (morfe atau bentuk), potensi dan aktus. Menurut Aristoteles semua realitas empiris terdiri atas materi dan bentuk, perwujudan tidak pernah akan terjadi jika salah satu dari kedua unsur tersebut tidak dalam kesatuan. Manusia, misalnya, dapat dijelaskan dengan teori materi dan bentuk sebagai satu kesatuan. Materi identik dengan perwujudan fisik manusia, yang tidak lain terdiri atas unsur material yang terdapat di dalam dunia ini; sedangkan jiwa identik dengan bentuk. Manusia sebagai kesatuan antara fisik dan jiwa, jika salah satu dari keduanya dihilangkan, maka manusia tidak akan menjadi manusia lagi. Tidak ada manusia tanpa tubuh, dan jika tubuh tanpa jiwa maka akan menjadi mayat, bukan manusia lagi.
            Potensi dan aktus, potensi adalah kemungkinan dan setiap kemungkinan dapat menjadi aktual atau tidak. Bisa jadi manusia di dalam dirinya memiliki banyak potensi, misalnya potensi untuk berperilaku sebagai hewan mamalia dan predator yang amat kejam. Namun karena manusia itu bukan sekedar hewan, melainkan hewan yang mampu berpikir, maka potensi untuk berperilaku layaknya hewan mamalia jarang yang sungguh-sungguh menjadi aktual. Pikiran telah membuat manusia menjadi beradab, manusia tidak cukup dengan memuaskan nafsu alamiah demi kelangsungan hidupnya. Hidup, bagi manusia, bukan untuk makan, melainkan makan untuk hidup. Pada taraf hewani, sudah terdapat unsur teleologis (telos : telos: tujuan), yaitu bahwa makan demi melangsungkan hidup dan kelangsungan hidup demi naluri untuk mewariskan generasi. Pada taraf manusia unsur teleologis diangkat ke dataran yang lebih tinggi lagi: manusia mampu memberikan arah hidupnya kepada sesuatu yang lebih bermartabat, menjadikan citra dirinya khas manusiawi. Lebih dari itu, manusia dengan pikirannya mampu untuk mengendalikan diri, dapat membedakan mana yang seharusnya menjadi sarana dan mana yang mesti menjadi tujuan; meskipun terkadang sarana suatu ketika dapat menjadi tujuan antara dalam rangka mencapai tujuan yang lebih tinggi: eudamonia (eudamonia: kehidupan yang baik, yang dapat memberikan kebahagiaan).  
            5. Pengenalan empiris dan rasionalis: Aristoteles secara epistemologis dapat dikategorikan sebagai seorang empiris dan sekaligus rasionalis. Bagi Aristoteles,  pengetahuan manusia berkaitan dengan benda fisik didapatkan melalui indera, namun indera tidak cukup tanpa dukungan dari kemapuan manusia untuk berpikir.
            6. Pembagian realitas: Aristoteles membagi realitas menjadi empat (4) tingkatan, semakin ke atas semakin rumit, dan realitas inilah yang sesungguhnya kita kenal dewasa ini sebagai objek material ilmu. Realitas tersebut adalah benda tidak hidup (anorganik), nabati, hewani, dan human. Benda tidak hidup dipelajari oleh rumpun ilmu fisis, nabati dan hewani oleh rumpun ilmu biologis, dan human yang banyak menjadi kajian rumpun ilmu medis dan ilmu sosial-kemanusiaan. Dari dulu hingga sekarang ilmu empiris hanya mempelajari empat realitas tersebut, dan belum banyak mengalami perubahan. Sekalipun demikian bukan berarti ilmu tidak mengalami perkembangan, sejalan dengan semakin canggihnya pengetahuan manusia, dewasa ini realitas yang cukup menonjol yang menjadi kajian pengetauan ilmiah antara lain: realitas angkasa luar dan munculnya realitas dunia maya dengan berkembangnya pengetahuan tentang teknologi, khususnya komputer. 
              7. Teori geosentris: ajaran Aristoteles bahwa bumi sebagai pusat tata surya cukup lama dipercaya kebenarannya dan bahkan pernah dipandang sebagai ajaran resmi gereja. Temuan Aristoteles ini rupanya merupakan temuan yang paling lemah, yang hanya mampu bertahan hingga abad XVI Masehi. Kemunculan teori heliosentris dari Copernicus, Galileo Galilei, Kepler agaknya telah menumbangkan dominasi teori Aristoteles. Sekalipun demikian, tumbangnya teori geosentris Aristoteles ini telah semakin menyadarkan kita bahwa kebenaran ilmiah itu tidak pernah selesai dan tuntas. Kebenaran teori, hukum ilmiah yang dipercaya benar pada suatu ketika akan runtuh juga jika dapat ditemukan teori dan hukum baru yang lebih rasional, didukung evidensi empiris yang lebih meyakinkan dan memiliki kemampuan eksplanatori yang lebih memadai.   

III. ILMU JAMAN PERTENGAHAN (Abad IX – XV)

            Jaman pertengahan, khususnya di Eropa, disebut jaman kegelapan, yaitu ketika terjadi stagnasi pemikiran manusia. Bukan berarti manusia berhenti berpikir sama sekali, melainkan manusia lebih memusatkan perhatian pada sesuatu yang bersifat supranatural dan enggan berpikir untuk sesuatu yang bersifat empiris dan material. Pada jaman ini tidak banyak kemajuan di dalam ilmu empiris, karena terjadi usaha dogmatisasi kebenaran, khususnya pemikiran Plato, Aristoteles dan ajaran Alkitab sebagai otoritas tertinggi, satu-satunya kebenaran yang mutlak dan tidak dapat digoyahkan. Pada jaman ini agama Nasrani sangat dominan dalam kehidupan orang Eropa, filsafat dan ilmu diabdikan sepenuhnya pada agama.  
            Jaman kegelapan di Eropa bersamaan waktunya dengan jaman keemasan pemikiran di dunia Muslim. Dunia Islam juga berusaha mengembangkan  dan menafsirkan pemikiran Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles, tetapi tidak sampai terjebak menjadikannya sebagai dogma. Ketika Eropa asyik dengan masalah Ketuhanan, sebenarnya di jazirah Arab juga berkembang hal yang sama; sekalipun demikian di samping mengembangkan pemikiran tentang masalah Ketuhanan, para ilmuwan Arab tidak melupakan ilmu empiris, terutama ilmu kimia dan ilmu kedokteran. Nama besar Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina muncul pada zaman ini. Sayangnya, kemajuan pemikiran, baik yang spekulatif maupun yang empiris di dunia Arab tidak bertahan lama, karena rupanya orang di zaman itu belum siap menerima kemajuan berpikir secara bebas. Berpikir bebas dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan harus dihentikan. Pada abad XII terjadi pemberangusan dan pembakaran besar-besaran atas buku-buku yang berisi pemikiran filsafat, khususnya filsafat Yunani. Kejadian ini menghentikan iklim ilmiah di jazirah Arab; untungnya sebagian buku masih dapat diselamatkan oleh para sarjana barat. Para sarjana barat mulai menemukan kembali harta warisan yang sangat berharga dari zaman Yunani klasik, kemudian buku-buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa barat, khususnya bahasa Latin dan dipelajari. Kebangkitan kembali dunia barat tidak lepas dari semangat untuk berpikir bebas sebagaimana yang dilakukan oleh para pemikir Yunani klasik.    
            Menjelang akhir jaman pertengahan di Eropa mulai bermunculan universitas besar yang kelak akan memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan ilmu. Berbagai universitas tersebut lahir pada abad XIII, antara lain Universitas Paris, Oxford, Cambridge, Bologna, dan Padua.
            Hal penting yang terjadi di zaman pertengahan yang patut dicatat berkaitan dengan sejarah ilmu, antara lain:
1.      Orang barat mulai menerjemahkan dan mempelajari kembali karya para pemikir Yunani klasik.
2.      Temuan penting: orang Cina menemukan bubuk mesiu dan kertas sebagai alat tulis. Penemuan bubuk mesiu yang kemudian dimanfaatkan oleh orang barat untuk membuat senjata sehingga mengubah cara berperang, sebelumnya berperang harus satu lawan satu dengan berhadap-hadapan, dengan senjata yang menggunakan bubuk mesiu perang dapat dilakukan dari jarak jauh. Penemuan kertas sebagai alat tulis membuat pengetahuan ilmiah dapat dipelajari secara masal, hal ini sangat besar sumbangannya dalam penyebarluasan ilmu ke seluruh bangsa di dunia. Pada zaman pertengahan ini, pergaulan antar bangsa mulai terbuka.
3.      Tradisi keahlian dan tradisi akademis mulai muncul. Pada hakikatnya, dari dulu sampai sekarang, ilmu tumbuh dan dikembangkan oleh masyarakat akademis yang ahli dalam bidang tertentu yang telah terbiasa dengan tradisi akademis.
4.      Eksperimentasi mulai dikembangkan. Pada zaman ini para ilmuwan telah mulai melakukan berbagai eksperimen, baik yang berhubungan dengan fisika dan kimia. Eksperimen inilah yang sangat besar sumbangannya di dalam memajukan ilmu empiris di zaman yang kemudian.

Tokoh yang menonjol pada zaman pertengahan antara lain adalah:
1.      Roger Bacon (1214-1294) dari Universitas Oxford. Menurut Bacon, ilmuwan atau pakar harus mengetahui ilmu alam melalui eksperimen, ilmu pengobatan, ilmu kimia, dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bawahnya lebih daripada yang diketahui oleh orang awam”. Bacon bereksperimen di dalam bidang optik.
2.      Piere de Maricourt, bereksperimen di dalam bidang magnetik.
3.      Mondino de Luzzi, mempelajari pembedahan dan anatomi tubuh manusia.
4.      Vital du Four, Magister Salernus: ahli kimia yang menemukan alkohol lewat teknik destilasi anggur dan bir.
5.      William Ockham: mempelajari ilmu tentang gerakan, menurut dia, penggerak pertama bukanlah Tuhan, unsur fisik dapat menimbulkan gerakan, misalnya yang terjadi pada magnet yang dapat menggerakkan logam besi.

IV. REVOLUSI ILMIAH ABAD XVI DAN XVII

            Abad XVI ilmu secara jelas mulai memisahkan diri dari filsafat yang dipelopori oleh ilmu alam. Tuntutan ilmu untuk menjadi empiris, yaitu pernyataannya harus didukung dengan evidensi  empiris membuat ilmu tidak lagi dapat menjadi spekulatif. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa pada abad XVI ilmu alam telah mengalami kematangan, sedangkan ilmu sosial-kemanusiaan baru lahir tigaratus tahun kemudian. Ilmu sosial-kemanusiaan masih berkembang di bawah kategori filsafat sosial dan etika.
            Nama-nama besar yang memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu antara lain adalah:
1.      Copernicus (1473-1543), dengan teori heliosentrisnya telah mengubah pandangan manusia tentang tata surya. Teori geosentris Aristoteles yang dianggap benar selama ribuan tahun, akhirnya digantikan oleh teori heliosentris Copernicus, yang menyatakan bahwa pusat tata surya adalah matahari dan bukan bumi. Menurut Copernicus, bumi beputar pada porosnya setiap hari, mengorbit tahunan mengitari matahari, putaran poros bumi saat berputar yang menyebabkan presisi siang-malam. Penggerak pertama alam semesta tidak lagi penting, bagi Copernicus, matahari pada pusat tata surya adalah pengatur benda-benda langit.

2.      Kepler (1571-1630), planet berputar dengan gerakan elip mengitari matahari pada porosnya. Gerakan planet tidak uniform; periode revolusi planet mengitari matahari adalah proporsional dengan jaraknya.

3.      Gilbert dari Colchester, menurut dia, bumi sebagai magnet rasasa, magnet sebagai penyebab gerakan dan perubahan: misalnya, yang terjadi pada kompas.

4.      Francis Bacon (1561-1626), dengan magnum opus-nya Novum Organon, memberikan jalan baru bagi riset ilmiah. Jika sebelumnya ilmuwan mengandalkan pada metode deduktif, metode yang tidak memberikan keterangan baru bagi realitas empiris. Metode induktif  yang ditemukan Bacon inilah yang nantinya semakin membuat ilmu berkembang dengan pesat. Bacon juga mengajarkan bahwa ilmu harus dikembangkan secara eksperimental dengan memperhatikan prinsip, proses, dan fakta.


V. ILMU ABAD XVIII

Implementasi ilmu menimbulkan revolusi industri, sistem ekonomi kapitalisme semakin berkembang. Selain ilmu alam semakin mengalami kematangan, ilmu sosial juga mulai bermunculan. Tokoh penting yang muncul pada abad ini antara lain:
1.               Isaac Newton (1642-1727), dengan karyanya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica.  Newton menemukan teori gravitasi universal, revolusi di dalam bidang mekanika.
2.               Lavoisier: revolusi dalam bidang kimia: teori oksidasi.
3.               Adam Smith (1723-1790), dengan karyanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, dia membuat ilmu ekonomi berusaha untuk menjadi ilmu empiris. Menurut Smith, pasar dapat dipelajari, yaitu dengan mempelajari hukum penawaran dan permintaan. Kemakmuran dapat dicapai jika individu bebas menentukan dan memenuhi kebutuhannya. Ajaran Adam Smith inilah yang kemudian menjiwai sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme. Negara sesedikit mungkin campur tangan dalam urusan ekonomi rakyat, biarlah semua diatur oleh tangan-tangan yang tidak tampak (Invincible hand). 
Para ilmuwan mulai tertarik pada evolusi dan mata rantai kehidupan, embriologi: perkembangan organisme individual, struktur dan fungsi organisme hidup.

            VI. ILMU ABAD XIX
            Berbagai temuan besar pada abad XIX antara lain adalah:
1.      Geologi mulai berkembang menjadi ilmu yang mandiri.
2.      Teori evolusi Darwin mengubah pandangan manusia tentang asal-usul makhluk hidup pada umumnya dan manusia pada khususnya.
3.      Teori gelombang cahaya, listrik dan magnetisme, termodinamika, ilmu dan rekayasa, aplikasi kimia dan mikrobiologi berkembang dengan pesat.
4.      Lahirnya sosiologi lewat pemikiran Auguste Comte merupakan tonggak penting bagi berbagai ilmu sosial untuk menjadi ilmu empiris dan positif.
5.      Munculnya filsafat Marx, yang mengajarkan sosialisme-komunisme, yang karena dipraktekkan oleh Lenin dan penerusnya di Uni Soviet, meskipun sekarang tidak populer lagi, pernah membelah dunia menjadi dua blok besar: blok sosialis-komunis, yang dipimpin USSR dan blok liberalis-kapitalis, yang dipimpin oleh USA.

VII. ILMU ABAD XX

            Berbagai temuan ilmiah spektakuler banyak dihasilkan pada abad XX, kemajuan ilmu dan teknologi berjalan sangat pesat. Manusia dapat mencapai sesuatu yang sulit dibayangkan pada abad-abad sebelumnya: penemuan berbagai alat transportasi dan alat telekomunikasi telah benar-benar membawa manusia mampu menghemat energi dan waktu.
            Temuan yang dihasilkan pada abad XX antara lain:
1.      Teori relativitas Einstein
2.      Teori kuantum dan struktur atom
3.      Astrofisik dan teori struktur dunia
4.      Teori makroekonomi Keynes
5.      Manusia semakin tertarik pada misteri alam semesta: penjelajahan antariksa
6.      Berbagai teori baru berkaitan dengan bidang ilmu tertentu terus bermunculan: ilmu melahirkan spesialisasi, ilmu menjadi semakin terpecah dan semakin jauh satu sama lain.


EKSPLANASI ILMIAH

A.Esensi Eksplanasi Ilmiah

1.      Arti Penting eksplanasi ilmiah

Persoalan tentang eksplanasi ilmiah telah menjadi pusat perhatian para filsuf pada zaman sebelum Socrates hingga zaman modern (Woodward, 2003: 1). Sekalipun  demikian, formulasi yang sangat eksplisit  di zaman Yunani kuno baru dapat ditemukan pada Aristoteles (384-322 SM) yang mengatakan bahwa, “Manusia tidak berpikir dirinya telah mengetahui sesuatu sebelum benar-benar mengetahui ‘mengapa’ sesuatu itu memang demikian adanya” (Kim, dalam Edwards, ed., 1967, 2: 159). Pernyataan tersebut, sampai tingkatan tertentu dapat dikatakan, sangat antisipatif, membuka cakrawala pengetahuan manusia, khususnya pengetahuan ilmiah bagi peradaban manusia di masa depan. Manusia sebagai a ratinal animal memiliki kodrat untuk senantiasa mendapatkan pengetahuan karena dorongan rasa ingin tahu (curiousity), rasionalitas manusia tidak pernah puas dan mau menerima begitu saja segala sesuatu yang dihadapinya. Setiap fenomena yang menampak dicerap oleh indera dan berusaha untuk dimengerti oleh pikiran, usaha ini dilakukan secara terus-menerus dalam keseharian hidup manusia.
Usaha untuk mendapatkan pengetahuan bermula dalam tahap common sense, di dalam tahap ini pengetahuan diperoleh dengan cara yang benar-benar aseli dan tanpa ada prosedur baku hasil rekayasa manusia: segala sesuatunya berlangsung sedemikian alamiah dan kodrati. Akan tetapi, manusia tidak puas hanya dengan “pengetahuan biasa dan sangat umum” ini; hasrat ingin tahu pada diri manusia mendorongnya untuk terus dapat memperoleh pengetahuan yang andal dan dapat dipercaya, yang didukung oleh bukti dan evidensi yang meyakinkan. Maka, secara tidak terelakkan, manusia harus menentukan prosedur yang relatif baku, yang dapat digunakan oleh siapa pun untuk menghasilkan pengetahuan yang terorganisasi, valid, sistematik, terstruktur, dan mengandung nilai kebenaran. Usaha ini berlangsung secara terus-menerus sejak awal ilmu mulai dibangun hingga ilmu mengalami kematangan; dan tampaknya usaha ini akan tetap terus berlangsung sejauh manusia masih mengembangkan peradaban melalui kemajuan berpikir ilmiah.
Keinginan untuk memberikan eksplanasi sistematis dan yang dapat dikendalikan melalui evidensi faktual adalah yang melahirkan ilmu empiris. Menurut Nagel (1974: 4-15) tujuan khas ilmu adalah untuk mengorganisasikan dan mengklasifikasikan pengetahuan. Ilmu, secara lebih khusus berusaha untuk menemukan dan merumuskan pernyataan dengan istilah umum berkaitan dengan kondisi yang menyebabkan beraneka ragam kejadian itu terjadi, pernyataan tersebut menentukan kondisi yang merupakan eksplanasi bagi setiap kejadian. Tujuan tersebut dapat dicapai hanya dengan pembedaan atau pengisolasian unsur tertentu dalam pokok soal yang dipelajari dan dengan mengetahui secara pasti pola ketergantungan yang berulang antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Tugas ilmu yang utama adalah untuk memberikan eksplanasi sistematis dan yang dapat dipertanggungjawabkan. Eksplanasi dapat diberikan untuk kejadian yang bersifat: individual, proses yang berulang, maupun regularitas yang tetap maupun yang bersifat statistik. Masing-masing ilmu, biasanya, memberikan tekanan yang berbeda dalam memberikan eksplanasi sistematis yang dikembagkannya. Namun tuntutan akan eksplanasi sistematis tidak pernah absen dari ilmu yang pernah ada. 
Para ilmuwan lebih dari sekedar mencatat fenomena semata-mata, namun yang lebih utama adalah mencari pemahaman. Ilmuwan mencari hukum alam yang mengatur kejadian patikular dan prinsip yang  mendasarinya (Copi, 1978: 460). 


HUKUM ILMIAH


ASUMSI  DASAR ILMU EMPIRIS


Ilmu (pengetahuan ilmiah), sejauh ini, merupakan pengetahuan yang paling memadai yang dapat dicapai manusia. Tidak disangsikan bahwa, dari segi proses terjadinya maupun dalam sejarah perkembangannya, ilmulah satu-satunya jenis pengetahuan yang dimiliki manusia yang didukung oleh berbagai evidensi empiris. Kebenaran ilmiah yang termuat di dalam proposisi senantiasa diupayakan ada korespondensi dengan kenyataan. Ilmu dicapai melalui metode ilmiah dan disusun dalam satu sistem yang sebisa mungkin tidak ada kontradiksi di dalamnya, sehingga ilmu sering disebut pengetahuan yang sistematis-metodis. Hal ini mengimplikasikan bahwa ilmu disusun dengan menggunakan prosedur tertentu dan tidak ada kesan arbitrer. Argumentasi, alasan, dan contoh  selain rasional juga didukung oleh data dan fakta sehingga manusia yang sesuai dengan kodratnya bersifat  rasional  dapat menerima dan mengamini apa yang dinyatakan oleh ilmu.  Dengan demikian, ilmu lebih memiliki kepastian dibandingkan dengan jenis pengetahuan yang lain, sekali pun keberhasilan yang dicapai dengan metode ilmiah melibatkan asumsi tertentu yang tidak dapat dijustifikasi sendiri melalui metode ilmiah. Ibaratnya kayu penggaris yang dapat mengukur panjang barang sesuatu yang lain, namun tidak dapat mengukur dirinya sendiri, meskipun de facto kita percaya. tahu dan menggunakannya, bahwa panjang penggaris itu, misalnya 1 m atau 100 cm.
Asumsi yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang dianggap taken for granted, kebenarannya tidak diragukan lagi, bahkan mungkin di kalangan para ilmuwan  sendiri tidak pernah disadari bahwa ilmu yang selama ini digelutinya dibangun bukan tanpa dasar. Namun, ilmuwan yang mempelajari filsafat ilmu tentunya akan mengerti, karena persoalan asumsi dasar ilmu merupakan salah satu persoalan teknis di dalam filsafat ilmu dan biasa menjadi perbincangan para filsuf ilmu.
Ilmuwan bekerja, yaitu melakukan riset maupun mengajarkan ilmunya—jika dia tenaga edukatif—melakukan langkah dan prosedur yang biasanya baku dan telah umum diterima oleh masyarakat ilmiah yang menggeluti ilmu yang sejenis. Pengetahuan tentang asumsi dasar ilmu, paling tidak, akan membuat ilmuwan menyadari akan adanya sesuatu yang bersifat fundamental yang menjadi latar belakang bagi dikembangkannya ilmu. Lebih dari itu, pengetahuan tentang asumsi dasar ilmu akan membuat ilmuwan berpikiran semakin  terbuka, bahwa di balik sesuatu yang empiris ada sesuatu yang dapat dikatakan “metafisis” “maupun epistemologis” yang keberadaannya menopang seluruh bangunan ilmu. Pengetahuan tentang asumsi dasar ilmu akan membuat ilmuwan semakin sadar bahwa kebenaran ilmiah itu pada akhirnya bersifat hipotetis semata. Yang namanya benar tidak seratus persen benar, karena kebenaran ilmiah itu sendiri berlangsung dalam proses yang secara terus-menerus dalam penyempurnan. Bahkan suatu ketika hukum, teori, atau sesuatu yang telah ratusan bahkan ribuan tahun dianggap fakta ternyata merupakan sesuatu yang keliru ketika ditemukannya hukum, teori, fakta baru yang lebih mencerminkan realitas.


Asumsi dasar ilmu antara lain adalah:

1. Prinsip Keteraturan Alam (Prinsip Kosmologis), yaitu bahwa alam semesta ini  merupakan  cosmos dan bukan chaos. Artinya bahwa di dalam alam semesta ini terdapat keteraturan, alam semesta  menunjukkan perilaku tertentu. Di dalam alam semesta ini tidak ada sesuatu yang muncul secara spontan dan tanpa sebab. Peristiwa yang terjadi secara berulang mungkin untuk terus terjadi dengan cara yang demikian. Secara historis: apa yang terjadi di masa lampau dapat terjadi di masa kini dan di masa depan.

Prinsip Keteraturan dan Prediksi

Karena adanya keteraturan inilah, ilmu empiris mungkin untuk membuat prediksi atas apa yang akan terjadi di masa depan, atau melakukan retrodiksi dengan melihat apa yang terjadi di masa lampau atas dasar data dan fakta yang ditemukan pada hari ini. Ilmu empiris dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang penting apabila telah dapat membuat prediksi yang mendekati kebenaran. Prediksi sejak awal perkembangan ilmu merupakan hal yang sangat penting, karena dengan kemampuan membuat prediksi orang dapat melakukan antisipasi terhadap apa yang akan terjadi, terlebih lagi jika hal itu berkaitan dengan sesuatu yang dapat mengancam kehidupan manusia. Prediksi yang tertua, yang tercatat dalam sejarah ilmu adalah yang dilakukan oleh Thales pada abad VI SM yang dapat secara tepat meramalkan terjadinya gerhana matahari secara tepat yang terjadi di zamannya. Selain itu, orang Mesir kuno juga telah dapat memprediksi kapan akan terjadi banjir di Sungai Nil, sehingga mereka dapat mempersiapkan segala akibat yang akan ditimbulkan oleh banjir.
Orang Jawa, sampai tingkatan tertentu juga telah dapat melihat keteraturan yang terjadi di alam semesta ini. Ilmu pranata mangsa yang membagi satu tahun menjadi 12 musim yang masing-masing memiliki usia yang berbeda-beda, membuktikan bahwa orang Jawa sudah sejak lama melihat keteraturan yang terdapat alam semesta. Dengan pengetahuan tentang pranata mangsa ini orang dapat melakukan antisipasi terhadap alam, misalnya: kapan mereka harus menanam padi, menanam palawija atau kapan harus membuat sumur agar jika kemarau panjang airnya tidak habis. Sayangnya, pengetahuan yang berasal dari kearifan lokal (local genius) ini tidak dikembangkan lagi, bahkan tidak banyak lagi orang Jawa yang masih mengetahui ilmu pranata mangsa.
Ilmuwan di dalam melakukan prediksi harus berhati-hati, apalagi jika ilmuwan tersebut telah memiliki nama besar dan cukup berpengaruh di dalam masyarakat (public figure). Karena bisa terjadi, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat, prediksi yang didasarkan atas data yang benar justru meleset; dan sebaliknya, prediksi yang di dasarkan atas data yang salah namun justru benar-benar menjadi kenyataan. Berkaitan dengan hal ini, dapat dicontohkan prediksi yang dilakukan oleh Karl Marx dan prediksi yang dilakukan oleh seorang ahli perbankkan.
Karl Marx (1818-1883), bapak Sosialisme-Komunisme, di zamannya ketika revolusi industri telah bergulir dan mengalami kemajuan pesat, dia melihat terjadinya ketimpangan sosial yang luar biasa antara kaum buruh (proletar) dan pemilik industri (kaum kapitalis, borjuis). Ketika itu kaum buruh benar-benar dieksploitasi oleh para pengusaha: bekerja memeras tenaga, upah sangat rendah yang hanya dapat untuk hidup secara pas-pasan. Kaum buruh jumlahnya sangat besar; sedangkan kaum kapitalis tidak begitu banyak jumlahnya, namun memiliki kekuasaan yang luar biasa besar  terhadap para buruhnya. Kaum buruh kalau tidak mau dipecat harus menuruti apa yang dimaui oleh pengusaha. Marx melihat betapa kaum buruh diperas habis-habisan dan hidup dalam penderitaan; sedangkan para pengusaha dengan modalnya hidup makmur tanpa susah payah dengan memeras keringat. Kenyataan inilah, antara lain,  yang mengilhami Marx  untuk mengubah dunia dengan memperbaiki nasib kaum buruh. Marx membayangkan dunia yang tanpa penderitaan, maka dia menghendaki lahirnya masyarakat Sosialis-Komunis. Dia menganjurkan kepada kaum buruh sedunia untuk bersatu dan merebut alat produksi. Kaum buruh harus jadi penguasa, dan satu-satunya cara hanyalah dengan revolusi. Marx bersama kolaboratornya, Engels (1820-1895) dengan berbagai tulisannya giat menyuarakan revolusi kaum buruh. Namun ide mereka baru menjadi kenyataan setelah dibaca dan dipraktekkan oleh Lenin (1870-1924) yang secara filosofis dia  berpendapat, bahwa untuk memahami Marxisme orang harus mempelajari filsafat Hegel dengan benar. Lenin lah yang telah membawa abad XX menjadi abad komunisme, yang pada akhirnya sampai runtuhnya Uni Soviet pada dasawarsa 1980-an berhasil membelah dunia menjadi dua bagian blok kekuatan politik besar. Blok Timur dengan komandan Uni Soviet dan Blok Barat dengan Amerika sebagai pemukanya.
Era Komunisme telah berlalu, Soviet telah bubar, Cina Komunis telah memberi tempat kepada perekonomian yang berbasis kapital. Prediksi yang dilakukan oleh Marx akhirnya tidak menjadi kenyataan, komunisme tidak lagi sepopuler dulu. Marx melakukan apa yang dinamakan dengan suicidal prediction (ramalan dengan data yang benar namun yang diramalkan tidak terjadi, meleset). Data yang dijadikan dasar prediksi memang benar, paling tidak ada kecenderungan untuk menjadi benar “orang atau massa yang ditindas dan ditekan suatu ketika pasti melakukan perlawanan” namun dalam kenyataannya tidak demikian. Di Inggris, tempat awal bergulirnya revolusi industri tidak terjadi revolusi. Revolusi justru terjadi di Rusia yang industrinya relatif terbelakang, dan di Cina yang masyarakatnya petani. Sampai tingkatan tertentu, apa yang diprediksikan Marx justru menggugah kesadaran kaum kapitalis untuk mengadakan perbaikan terhadap nasib kaum buruh, kaum kapitalis dapat menerima kritik dan secara terus-menerus berbenah diri sehingga dapat survive sampai sekarang. Dewasa ini, dapat dikatakan, satu-satunya sistem perekonomian yang berkembang hanyalah kapitalisme, tidak ada alternatif lain. Komunisme tidak populer lagi, karena ternyata hanya di bawah penguasa yang diktator negara komunis dapat dipertahankan, dan demokratisasi di bidang politik sekarang menjadi tuntutan universal setiap bangsa yang beradab. Selain itu, dalam sistem perekonomiannya, negara komunis terlalu campur tangan dalam urusan ekonomi rakyatnya, tidak terjadi persaingan sehat karena semuanya, termasuk harga barang dan upah telah diatur oleh negara. Harga bukan terjadi karena mekanisme pasar, melainkan ketetapan yang telah diatur oleh pemerintah. Jika ada harga barang, tidak lain hanyalah harga semu. Konsep sama rata-sama rasa membuat orang tidak ada motivasi untuk mengembangkan diri dalam urusan perekonomian1.    
Prediksi yang satunya lagi adalah yang biasa disebut Self-fulfilling Prophecy, yaitu prediksi atas dasar data yang salah namun yang diprediksikan benar-benar terjadi. Hal ini mungkin terjadi karena kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang pakar dalam bidang tertentu. Contoh prediksi ini, misalnya dalam kasus perbankkan: seorang ahli perbankkan dengan data yang tidak benar mengatakan lewat media massa bahwa Bank X, sedang mengalami persoalan likuiditas atau persoalan menejemen yang memungkinkan bank tersebut akan bangkrut. Masyarakat, khususnya para nasabah bank tersebut,  terkadang tidak kritis dan percaya pada apa yang dikatakan oleh ahli perbankkn tersebut; padahal sesungguhnya bank tersebut adalah bank yang sehat. Pernyataan ahli perbankkan tersebut bisa menimbulkan kepanikan di kalangan para nasabah, sehingga terjadi rush secara besar-besaran—semua tabungan ditarik sehingga mengakibatkan Bank X tersebut benar-benar ambruk. Pelajaran yang dapat ditarik dari prediksi jenis ini, bahwa  ketika orang telah menjadi pakar dan public figure harus hati-hati di dalam membuat prediksi, karena apa yang dikatakannya dapat dianggap sebagai kebenaran oleh publik meskipun sesungguhnya apa yang dikatakan tidak lain hanyalah kebohongan.

           
Jika tidak ada keteraturan di dalam alam:
 
Jika di dalam alam semesta ini tidak terdapat keteraturan, maka manusia sungguh akan mengalami kerepotan yang luar biasa. Manusia tidak mungkin menghimpun pengetahuan, memori tidak akan berfungsi, karena orang senantiasa dihadapkan kepada segala sesuatu yang serba baru terus-menerus. Bayangkan saja jika kita harus menghadapi sesuatu yang serba baru dan berubah secara terus-menerus dan tidak ada sesuatu yang tetap, hal ini akan membuat betapa kacaunya pikiran kita bahkan kita masing-masing akan kehilangan identitas diri. Kita selalu dituntut untuk selalu belajar dari awal untuk dapat mengetahui sesuatu yang senantiasa dalam kondisi berubah. Untung saja di dalam alam semesta ini selain terjadi perubahan masih ada yang tetap tidak berubah, ika terjadi perubahan, hal itu hanya berkaitan dengan unsur aksidensial dan bukan substansial ebagaimana yang dikatakan Aristoteles (384-322 SM), bukan sebagai yang  diungkapan Herakleitos (meninggal 480 SM): “Pantha rei kei uden menei”: tiada sesuatu yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri”. Berkaitan dengan ilmu dan juga pengalaman hidup sehari-hari ungkapan Aristoteles kiranya lebih tepat, bahwa perubahan memang selalu terjadi namun di samping ada yang berubah masih ada juga yang tetap tidak mengalami perubahan. Alam semesta bukanlah kekacaubalauan melainkan keteraturan, meskipun terkadang terjadi kekacauan di dalam pikiran kita yang karena sebab tertentu tidak mampu menangkap realitas yang sedemikian teratur.

Pendapat tentang prinsip ini:

Prinsip ini tidak ada jaminannya, hanya diasumsikan sebagai benar: kesimpulan ilmu dengan demikian hanya benar secara hipotetis. Ilmu tidak mampu menangkap kebenaran
   - Prinsip ini hanya dapat dijustifikasi sebagai prinsip prosedural, tanpanya ilmu akan berada dalam kemacetan, dengan prinsip tersebut ilmu dapat maju.
   - Prinsip ini benar per definisi: alam merupakan kawasan tempat berlakunya keteraturan.
-     Prinsip ini benar dalam dirinya sendiri dan benar secara intuitif.


•Prinsip keteraturan alam dikemukakan terutama dalam kaitannya dengan persoalan validasi (justifikasi) kesimpulan induktif, merupakan generalisasi empiris tentang konstitusi (keadaan lahiriah) alam semesta.


2. Alam itu bersifat objektif

Alam sampai tingkatan tertentu harus objektif: tidak tergantung pada proses pengetahuan manusia.
•Alam harus rasional: dapat menghasilkan kemampuan pikir pada manusia. Manusia dapat memperoleh pengetahuan yang objektif.
•Alam itu sederhana dan tidak rumit, manusia dapat mencapai kebenaran ilmiah.

Asumsi ini secara ontologis bersifat realistis:
•Manusia mempersepsi objek fisik secara langsung
•Keberadaan objek tidak tergantung pada orang yang mempersepsi
•Objek menempati posisi tertentu di dalam ruang
•Ciri khas objek seperti apa adanya sebagaimana dipersepsi orang.

3. Hukum logika itu benar:
•Principium identitatis: A = A, Jika P maka P, PÉP.
•Principium non-contradictionis: Tidak ada sesuatu yang sekaligus A dan bukan-A, Not both P and not-P, ~(P.~P).
•Principium exclusi tertii: Prinsip tidak ada kemungkinan ketiga. Sesuatu itu adalah A atau bukan-A. Either A or not-A, Either p or not-P, PV~P.
•Ketiga prinsip tersebut berasal dari Aristoteles, dalam perkembangan lebih lanjut ada prinsip lain:
•Principium ratio sufficientis (Leibniz): prinsip alasan memadai. Alasan mengapa sesuatu itu demikian dan tidak yang lain. Sesuatu itu pasti ada alasannya.
•Principium exemplaris: prinsip pemberian contoh, agar argumen di dalam ilmu menjadi jelas maka perlu pemberian contoh yang relevan.






4. Hukum kausalitas itu benar:
•Sebab mendahului akibat, anteseden mendahului konsekuen. Tidak ada sesuatu yang tanpa sebab, sebab bukanlah sesuatu yang bersifat spiritual melainkan bersifat material dan empiris.
•Persoalan di dalam ilmu dapat dipecahkan apabila ilmuwan dapat menemukan penyebab atas terjadinya peristiwa tertentu. 

5. Realitas ultimate adalah realitas empiris:
•Ilmu empiris berawal dan berakhir pada fakta pengalaman. Pengalaman sebagai pengadilan tertinggi. Hanya sesuatu yang dapat dialami yang dapat menjadi objek material ilmu empiris.

6. Metode ilmiah itu benar:
   Ilmu (pengetahuan ilmiah) diperoleh melalui metode tertentu. Metode ilmiah yang kebenarannya juga tidak dapat dijustifikasi melalui metode ilmiah. Metode ilmiah dengan langkah dan prosedurnya dianggap benar begitu saja.

















 
           
           
                       


             
           
           
  







1. Positivisme logis, secara khusus akan dibahas dalam bab tersendiri.
2 .Logika dan matematika biasa disebut juga ilmu formal, yang kebenarannya bersifat tautologis, tidak mengacu pada data empiris.
3. Ilmu empiris, adalah ilmu apa saja di luar logika dan matematika, yang kebenarannya tergantung pada data empiris, jadi harus ada kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan.
1 Lihat Sejarah Ilmu.
2
1 Untuk  melihat lebih jauh lagi kenapa Komunisme runtuh, dapat dibaca tulisan Henry Hazlitt, Dasar-Dasar Moralitas, judul asli The Foundation of Morality, diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal: 406-426 (Etika Sosialisme).

Comments

Popular posts from this blog

Fonologi, morfologi, sintaksis, semantik (Klasifikasi Bahasa dalam Studi Linguistik)

NATURAL SEMANTIC METALANGUAGE (NSM)

Linguist Teaching : TEORI TEORI MORFOLOGI