Linguist Teaching : KONSEP STRUKTURALISME SEBAGAI PENINJAU KAIDAH TANDA DALAM KEHIDUPAN BERBUDAYA
Konsep
Strukturalisme Sebagai Peninjau kaidah Tanda dalam kehidupan Berbudaya Masyarakat
I.Pendahuluan
Strukturalisme adalah cikal bakal
dari ilmu yang termasuk didalamnya semiotic.Dalam kajian ini kita akan
mempelajari tentang pengaruh strukturalisme dan fungsinya dalam memetakan tanda
, dimana tanda tersebut merupakan bagian
dari bidang semiotic, dalam hal ini tentu sebelumnya kita sudah tahu apa strukturalisme itu .
strukturalismme adalah adalah suatu konsep
atau bisa kita sebut juga pemikiran yang menyatakan masyarakat dan kebudayaan
mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap , strukturalisme lebih membahas
tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur
atau regulalitas diluar jangkauan manusia. Dalam tataran strukturalis tentu
kita semua tahu bahwa pencetus dari aliran ini sendiri adalah Ferdinand de
saussure dimana dia memunculkan kajian
dari suatu objek bahasa yaitu langue , langge , dan parole . langue adalah penetahuan dari kemampuan
bahasa yang bersifa kolektif dimna itu
merupakan bekal yang di mengerti oleh
setiap penutur dan bersifat kolektif , sedangkan langge adalah pengetahuan dari
bahasa dimana dimengerti oleh suatu masyarakat tertentu dan didalmanya terdapat
parole juga, dia juga mengemukankan mengenai signifiant dan signified yang
berarti (penanda dan yang ditandakan ).untuk “signifiant” adalah aspek material
dari bahasa dan “signified” adalah gambaran dari mental, pikiran atau konsep. Dalam
strukturalisme Saussure juga mencetuskan kajian sinkroni dan diakroni , yaitu
peninjauan historis menurut sejarah atau kejadian yang sudah berlalu (diakroni
) sedangkan (sinkroni ) adalah kajian
yang memandang dengan peninjauan
historis dalam suatu waktu tertentu ,
ciri dari strukturalisme ini adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual
objek melalui penyelidikan penyingkapan sifat-sifat intrinsiknya yang tidak
terikat oleh waktu dan penetapan hubugan antara fakta atau unsur-unsur sistem
tersebut melalui sebuah kajian.Selain Ferdinand de Saussure kita juga
mengenal Levi Strauss yang mengatakan bahwa pengkajian itu juga bisa
dilakukan dengan pengkajian bahasa budaya dan idiologi . dalam hal ini kita
juga berhubungan dengan semiotic , dimana disemiotik lebih khusus lagi yaitu
mengkaji tanda , hal yang ada dan disebut juga dalam kajian yang dikaji dalam
strukturalisme. Di era Claude Levi-Strauss hubungan antara bahasa dan mitos
menempati posisi yang penting , dimana dia beranggapan pikiran primitif yang
menampakkan diri dalam struktur –struktur mitos . dimana disini mitos biasanya
dianggap sebagai ‘impian ‘ kolektif , basis ritual, atau hanya sebagai wujud
abstraksi dari pemikiran manusia itu sendiri, sebagai contohnya fikiran manusia
tentang dewa , dimana dalam taraf ini manusia berusaha mengabstarksi definisi
dari manusia sempurna itu sendiri dan kemudian memanifestasikanya dalam bentuk
mythologi yang berupa dewa-dewa dengan simbol – simbolnya . mitos ini memiliki hubungan dengan bahasa itu sendiri
karena merupakan wujud dari tuturan manusia sehingga analisisnya bisa dipetakan
atau dikaitkan dengan linguistik dalam
hal ini Roland Barthes yang pemikiranya sama dengan E.Benveniste ahli
linguistik yang berasal dari libanon
dimana ia mengemukakan sekelompok tanda itu baru berarti jika dapat
dibahasakan , dimana secara tidak langsung dia berbicara mengenai semiotic yang
materi nya sama dengan yang ada pada konsep pemikiran Levi Strauss , Barthes
menmberi interprestasi bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masayarakat dengan kebudayaan pada waktu tertentu. Ini
berarti merujuk dari beberapa ahli yang kita sebutkan diatas dapat kita
simpulkan peran linguistik dalam pemetaan suatu kebudayaan suatu masyarakat
dalam satu waktu tertentu dan hal itu tidak lepas dari peran Linguistik.dalam
hal inilah kita akan bahasa mengenai lebih mendalam dengan mengaitkan semiotik
dalam peran linguistik untuk memberi landasan theori tentang budaya suatu masyarakat termasuk melihat
idiologi mereka , ini termasuk penciptaan dari sebuah mitos yang merupakan
perwujudan dari suatu pemikiran yang merepresentasikan manusia itu sendiri
sebagai suatu yang kompleks , berikut akan kita bahas terutama fungsi dari
linguistik itu sendiri sebagai pemicu-penggerak dari sendi-sendi tanda yang
senantiasa dinamis dan berkelanjutan. Barthes juga mengungkapkan bahwa
tanda-tanda dalam suatu budaya bukanlah suatu konsep murni yang di tujukan
untuk kebudayaan tersebut tapi merupakan resapan bagi tumbuhnya reproduksi
biologi dan ini mempunyai kaitan yang sangat kompleks.
II.Pembahasan
Dewasa ini marak
pembicaraan-tentang linguistik terutama dihubungkan dengan simbol-simbol dari
suatu masyarakat , pengkotakan masyarakat dalam suatu simbol-simbol tentunya
sudah bukan barang rahasia , dan itu sengaja dilakuan masyarakat itu sendiri
atau oleh pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh kita sekarang mengenal
berbagai kata baru dan bahkan bahasa baru , seperti di abad ini kita mengenal
dengan pesat perkembangan gadget canggih yang bernama “apel” di situ
dilambangkan hanya dengan sebuah apel yang sudah tergigit . meskipun begitu masyarakat saat melihat
simbol itu di toko atau dimanapun dia akan segera mengetahui bahwa itu adalah
“Apel”. Disini dapat kita ulas bahwa menurut Ferdinand De Saussure bahasa
dibedakan menjadi sign (tanda) dan signifier (penanda) dimana di dalam
peristiwa ini apel berlih fungsi menjadi arti lain dalam kaitanya dengan ini ,
dimana dalam situasi itu kita dapat mengetahui betapa bahasa itu berkembang dan
sangat identik dengan budaya penggunanya. Dapat kita simpulkan pula bahwa dalam
kaidah pergantian arti dari kata tersebut mengisyaratkan bahwa masyarakat sudah
pada taraf yang sangat maju sekali , dan menganggap teknologi sebagai sebuah
bagian dari kebutuhan pokok dalam kehidupan mereka. Disini mereka menggunakan
simbol “apel” karena disini diibaratkan untuk apel adalah buah yang mengandung
banyak buah dan mengandung banyak nutrisi dan vitamin , dimana apel ini juga
menjadi konsumsi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari , contoh buah “Apel”
itu adalah bahan pokok pembuatan makanan pokok khas barat diantaranya adalah “Pai
Apel” dan juga produk minuman yang sangat beraneka ragam . kaidah apel ini
mulai di tempelkan dalam sebuah penemuan baru yang berupa teknologi itu sendiri
dan diibaratkan sudah menjadi bahasa baru dalam suatu masyarakat. Dan bahasa
dapat dimengerti orang banyak walaupun dia sudah lepas dari penuturnya. Dari
penjelasan tersebut dapat kita ulas bahwa fenomena tersebut sesuai dengan
strukturalisme itu sendiri yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia
ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai
logika independen yang menarik , berkaitan dengan maksud , keinginan , maupun
tujuan manusia. Dalam hal ini kita juga bisa menillik manfaat dari bahasa itu untuk
memanifestasikan dari abstraksasi fikiran manusia, sehingga akan mudah baginya
memahami segala hal itu dalam konteks fikiranya .Hal ini juga berkembang dalam
era Levi Strauss yang mencoba mendeskripsikan hubungan antara bahasa dengan
mitos. Mitos menurut pandangan Levi Strauss adalah mimpi kolektif , basis
ritual atau semacam “permainana” estetika semata , dan figur –figur
mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi , atau para
pahlawan , atau dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada
taraf semata sebagai “mainan anak” serta menolak adanya relasi apapun dengan
dunia dan pranata-pranata masnyarakat yang menciptakanya . levi Straus
menyatakan bahwa mitos ini sebetulnya adalah hasil dari abstraksasi manusia
mengenai hal yang di fikirkanya , buah dari pemikiranya untuk mewujudkan suatu
“ideal” dalam bidang apapun yang bisa memenuhi kehausan manusia akan konsepnya
itu sendiri , dalam mitos ini sendiri pun menyiratkan hasil dari mitos itu
sendiri , mitos itu sendiri akan diceritakan menurut bahasa masing-masing ,di
mana ketika diceritakan konsepnya mulai berkurang karena pada dasarnya
penerimaan tentang mitos itu sendiripun disesuaikan dengan budaya manusia itu
sendiri, jika sudah beralih ke tatanan masyarakat yang baru maka akan sedikit
tereduksi akan maknanya . hal ini sesuai dengan konteks dari Ferdinand De
Saussure dimana dalam bahasa itu dibedakan objek kajianya diantaranya adalah
“langgue” dan “parole” dan konsep “sinkronik dan diakronik” untuk tinjauanya.
Dari individu-individu yang mendengar sebuah cerita dari suatu mitos itu akan
ditanggkap dengan mudah untuk struktur langguenya” akan tetapi konteks dari
parole akan sangat berbeda-beda. Ini merujuk pada cerita dimana konsep nya
adalah sama, akan tetapi bentuk perwujudan dari maksud itu berbeda-beda,
sebagai contoh kita tentu mengetahui konsep penyelamat dunia baik dalam dunia
barat dan dunia timur , dalam kaidah ini . diibaratkan “sang penyelamat “ ini sebagai sosok utusan tuhan yang akan
menyelamatkan manusia dari semua kejahatan yang akan melanda dunia , konsep ini
tentu sangat berbeda dalam perwujudanya . dalam dunia barat tokoh ini akan
disebut sebagi “maranatha” yang berarti “ penyelamat yang datang dari atas”
disini untuk konsepnya adalah sama , tapi konsep “parole” dari suatu budaya akan
sangat berbeda tentunya antara satu dengan yang lain tapi dalam kaidah ini
mempunyai “langue” yang sama. Dari
proses diatas kita juga merujuk dari apa yang dikatakan Lacan juga , ia
mengatakan bahwa bahasa itu merupakan suatu sistem pengungkapan yang tak
pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikanya. Tak akan pernah kita bisa memberikan penjelas
yang utuh dari bahasa itu sendiri dan untuk menyampaikannya pasti ada sistem
yang secar nirsadar terduksi , dalam artian makna dari kalimat tersebut. dalam
hal diatas konsep bahwa dalam “penyelamat” itu sudah berbeda dan mengalami
reduksi dari masing-masing masyarakat yang menginterprestasikannya tersebut ,
baik dalam berupa ciri-ciri maupun juga untuk perwujudan ataupun deskripsi dari
“penyelamat itu sendiri “. Dari sisi barthes jika kita ungkapakan konsep
“penyelamat” itu sendiri akan sangat bermuatan politis , karena di sana ada dua
faham yang mengangkat tema yang sama dari sudut pandang “langue” yang sama tapi
dalam “parole” yang berbeda , hal ini tentu saja ada muatan politis dan
idiologi kental tercakup di dalamnya. Hal ini jamak dilakukan dalam
pertentangan kebudayaan dan hal itu dimanifestasikan secara halus oleh
kaum-kaum yang berkepentingan . sebagai contoh ketika kita melihat iklan “Djarum”
, dalam iklan tersebut di gambarkan ada seorang “jin” yang seharusnya
meluluskan permintaan kepada manusia , malah ganti meminta permintaan kepada
manusia. Dalam hal ini sang manusia tersebut digambarkan sebagai sosok terpidana kasus korupsi ,hal yang pertama
diucapkanya adalah “Wani Piro?”. Hal ini tentu saja merujuk pada budaya korupsi
di indonesia yang sudah merajalela baik dari tingkat atas maupun tingkat bawah
. dan iklan tersebut bertepatan dengan maraknya persidangan tentang kasus
korupsi yang terjadi ditanah air. Sudah tentu dapat ditangkap maksudnya secara
langung oleh masyarakat indonesia. Dalam hal ini kebudayaan adalah resapan yang
bagus untuk menumbuhkan idiologi apapun itu , dan hal itu tentu saja bersifat
konstruktif melalui tanda dan penanda yang ada dalam masyarakat tersebut ,
secara lebih khusus dalam kamus mental leksikon yang ada dalam masyarakat . strukturalisme
merambat dalam segala aspek budaya masyarakat dan sebagai penentu tentang hasil
dari kebudayaan yang merupakan abstraksasi dari pemikiran-pemikiran kolektif
ataupun individual dalam masyarakat.
III. Kesimpulan
Dalam konteks
isi dari penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa menurut ferdinand
de saussure merupakan bapak dari linguistik yang juga mencetuskan ide dan ini
juga secara tidak langsung mempengaruhi lahir nya semiotic, dan bahkan sebelum
itu konsep semiotic itu sudah terbungkus atau tertanam dalam konsep yang di
populerkan olehnya yang itu mengenai tanda dan penanda (signified dan
signifier) . dalam hal ini dapat kita lihat kaitan strukturalisme dengan konsep
semiotik dalam mememtakan kaidah tanda , bahkan mitos yang ada pada suatu
masyarakat , baik itu bisa di lakukan dalam kajian sinkronik ataupun diakronik.
Dalam kesimpulan diatas dapat kita ambil contoh tentang masyarakat pada masa
lampau yang percaya akan suatu peristiwa dan hal itu secara tidak langsung jika
diteliti melalui konsep strukturalisme ini akan memunculkan kaidah dimana
kebudayaan akan dapat diamati dari sistem yang digunakan baik itu barupa “tanda
atau pun penanda” (signifier ataupun signified) . kebudayaan dalam hal ini bersifat
berkelanjutan dimana dalam setiap waktu untuk contoh mitos , penjabaranya akan
bermacam-macam dari waktu ke waktu dalam hal ini teori yang dimunculkan oleh Ferdinand
De Saussure juga berlaku yaitu tentang konsep “sinkronik dan diakronik ” maupun
“langue dan Parole”.
References
Barthes, R. (1967) Elements of Semiology, trans. A.
Lavers, London: cape.
Coulon, R (1989) ‘French and Australian socio-simiotics:
worlds apart and yet so close’, International
Journal for the Semiotics of Law II (6) 313-24.
http://id.shvoong.com//humanities/theory-criticism/2220987-teori-teori-strukturalis/#ixzzlivfqpaWAs.
http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=78:tinjauan-teoritik-tentang-semiotik-&catid=34:mkp&Itemid=61
Henaff, M. (1998) Ckayde Levi-Strauss and the Making of
Structural Anthropology, trans M.Baker, Minneapolis: university of Minnesota
Press.
Lacan, J. (1990) Television, New York: Norton.
Sebeok, T.A (1997) Signs: an Introduction to Semiotics,
Toronto: University of Toronto Press.
Sampson, G (1980): School of Linguistik, Stanford: stanford University Press.
Comments
Post a Comment